jf_pratama Publish time 15-1-2011 01:52 PM

Sultan Ali Ri`ayat Syah semakin murka dan kemudian dilakukanlah serangan yang cukup besar terhadap Pedir. Alhasil, Perkasa Alam dapat ditangkap dan dipenjarakan. Daro balik kurungan, Perkasa Alam mendengar bahaya-bahaya yang terjadi akibat agitasi Portugis dan tidak stabilnya kondisi rakyat Kesultanan Aceh Darussalam karena ketidakbecusan Sultan Ali Ri`ayat Syah. Maka dari itulah, Perkasa Alam kemudian mengirimkan pesan kepada Sultan Ali Ri`ayat Syah bahwa sekiranya dia dibebaskan dari penjara dan diberi perlengkapan senjata, dia berjanji akan dapat mengusir Portugis dari bumi Serambi Mekkah. Boleh jadi karena Sultan Ali Ri`ayat Syah sudah frustasi dengan kekisruhan yang ditimbulkan oleh Portugis, maka permintaan Perkasa Alam tersebut dikabulkan. Perkasa Alam kemudian memimpin perang melawan Portugis secara habis-habisan dan hasilnya memang tidak mengecewakan. Sekitar 300 orang serdadu Portugis tewas akibat serangan jitu yang dikomandani Perkasa Alam. Benteng yang diduduki Portugis dapat direbut kembali oleh pasukan Perkasa Alam. Karena mengalami kekalahan terbesar, Portugis memutuskan untuk lari dari Aceh dan mundur ke Malaka. Namun, di tengah jalan mereka berpapasan dengan armada Belanda yang kemudian menyerang mereka sehingga Portugis benar-benar terpukul mundur dan hancur.

Tanggal 4 April 1607, Sultan Ali Ri`ayat Syah mangkat. Terjadilah sedikit ketegangan sepeninggal Sultan Ali Ri`ayat Syah ihwal siapa yang berhak menyandang gelar sebagai Sultan Aceh Darussalam berikutnya. Perkasa Alam muncul sebagai kandidat terkuat karena didukung oleh segenap tokoh adat yang berpengaruh. Tidak seberapa lama, tersiarlah kabar bahwa Perkasa Alam didaulat menjadi penguasa Kesultanan Aceh Darussalam. Sultan baru inilah yang kemudian terkenal dengan nama Sultan Iskandar Muda Johan Pahlawan Meukuta Alam. Kendati suasana berlangsung sedikit tegang, namun dalam waktu yang relatif tidak lama, Perkasa Alam atau yang bergelar sebagai Sultan Iskandar Muda, mampu menguasai keadaan dengan mengkoordinir alat-alat pemerintah, sipil, dan militer, sehingga kedudukannya sebagai Sultan Aceh Darussalam semakin teguh.

Perkasa Alam lahir pada 1590. Anak muda gagah perkasa ini adalah keturunan dari pemimpin Aceh Darussalam terdahulu, Sultan Ala ad-Din Ri`ayat Syah al-Kahar. Perkasa Alam juga dikenal dengan beberapa nama lain, di antaranya Darmawangsa dan Tun Pangkat. Setelah memegang tampuk kepemimpinan Kesultanan Aceh Darussalam dan menyandang nama Sultan Iskandar Muda, gelarnya pun bertambah sebagai Mahkota Alam. Selain itu, Sultan Aceh Darussalam yang terbesar ini juga dikenal dengan nama kehormatan Sri Perkasa Alam Johan Berdaulat. Kadang-kadang orang menyebutnya dengan menyatukan nama-nama itu, yakni menjadi Perkasa Alam Maharaja Darmawangsa Tun Pangkat. Berbagai nama dan gelar ini menunjukkan betapa mashurnya Sultan Iskandar Muda, baik di dalam maupun di luar Aceh, di dalam dan di luar kepulauan nusantara, sejak masa itu dan untuk beberapa waktu lamanya, bahkan hingga kini. Di dalam negeri Aceh sendiri tidak ada seorang putra Aceh yang tidak mengenal nama ini dari masa itu. Tiap-tiap orang sampai ke pelosok, tahu siapa Iskandar Muda, demikian sejak beratus-ratus tahun hingga sekarang (Said a, 1981:282).

Setelah berjaya menduduki tahta tertinggi Kesultanan Aceh Darussalam, Perkasa Alam yang bergelar Sultan Iskandar Muda segera merancang program untuk meluaskan wilayah Kesultanan Aceh Darussalam. Beberapa misi yang diusung dalam rangka program tersebut adalah antara lain:

1. Menguasai seluruh negeri dan pelabuhan di sebelah-menyebelah Selat Malaka, dan menetapkan terjaminnya wibawa atas negeri-negeri itu sehingga tidak mungkin kemasukan taktik licik pemecah-belah “devide et impera” yang diterapkan kaum penjajah dari Barat.
2. Memukul Johor supaya tidak lagi dapat ditunggangi oleh Portugis ataupun Belanda.
3. Memukul negeri-negeri di sebelah timur Malaya, sejauh yang merugikan pedagang-pedagang Aceh dan usahanya untuk mencapai kemenangan dari musuh, seperti Pahang, Patani, dan lain-lain.
4. Memukul Portugis dan merampas Malaka.
5. Menaikkan harga pasaran hasil bumi untuk ekspor, dengan jalan memusatkan pelabuhan samudera ke satu pelabuhan di Aceh, atau sedikit-dikitnya mengadakan pengawasan yang sempurna sedemikian rupa sehingga kepentingan kerajaan tidak dirugikan (Said a, 1981:285).

Semenjak Sultan Iskandar Muda memegang kendali pemerintahan Kesultanan Aceh Darussalam, wilayah Aceh sendiri di sebelah timur sampai ke Tamiang disusun kembali, dan di sebelah barat, terutama daerah-daerah di luar Aceh yang sudah dikuasai, seperti Natal, Paseman, Tiku, Pariaman, Salida, dan Inderapura, kembali dipercayakan kepada pembesar-pembesar yang cukup berwibawa dan ahli menjalankan tugas untuk mengatur cukai-cukai dan pendapatan lain bagi pemasukan Kesultanan Aceh Darussalam.

Sementara itu, setelah kekalahan Portugis, Belanda pun harus berpikir ulang dalam meneruskan usahanya untuk menduduki Aceh karena memperhitungkan posisi Sultan Iskandar Muda. Maka dari itu, sejak tahun 1606, Belanda lebih memusatkan perhatiannya ke tempat-tempat lain di luar Aceh. Mau tidak mau, Belanda harus memasang siasat dengan mendahulukan kepentingan untuk menguasai tempat-tempat lain, terutama Jawa dan Maluku. Belanda, di bawah kendali Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen, memimpin Hindia Belanda sebanyak dua periode yakni pada 1619–1623 dan 1627–1629, sangat sadar bahwa Aceh saat itu tidak akan bisa dihadapi dengan cara militer. Coen menganggap lebih baik menjalankan politik adu domba atau pemecah belah saja. Tidak hanya Belanda saja yang gentar melihat kebesaran Kesultanan Aceh Darussalam di bawah komando Sultan Iskandar Muda, Inggris pun merasakan kecemasan yang sama. Untuk itulah kemudian Inggris lebih berkonsetrasi untuk beroperasi di daerah-daerah yang bukan menjadi wilayah kekuasaan Kesultanan Aceh Darussalam.

Kesultanan Aceh Darussalam memiliki angkatan perang yang kuat sehingga mendukung upaya Sultan Iskandar Muda untuk meluaskan daerah kekuasaannya. Dalam masa Sultan Iskandar Muda, seluruh Pantai Barat Sumatra hingga Bengkulu telah berada dalam kuasa Aceh Darussalam. Di tempat-tempat tersebut, terutama di pelabuhannya seperti Pariaman, Tiku, Salida, Indrapura, dan lain-lainnya, ditempatkanlah seorang panglima untuk memimpin masing-masing daerah taklukan. Kekuasaan Kesultanan Aceh Darussalam di bawah Sultan Iskandar Muda juga sudah meluas di seluruh Sumatra Timur. Dengan jatuhnya Pahang, Kedah, Patani, dan Perak, boleh dikatakan masa itu Semenanjung Melayu dengan Sumatra Timur, termasuk Siak, Indragiri, Lingga, serta wilayah-wilayah di selatannya, di mana di dalamnya terdapat Palembang dan Jambi, sudah menjadi bagian dari imperium Kesultanan Aceh Darussalam.

jf_pratama Publish time 15-1-2011 01:54 PM

Di bawah kepemimpinan Sultan Iskandar Muda, Kesultanan Aceh Darussalam mengalami puncak masa keemasan. Permintaan akan lada, yang kala itu menjadi komoditas yang cukup laku di pasaran Eropa, terus meningkat sehingga harganya pun melambung tinggi. Dalam keadaan demikian, bisa dikatakan hampir seluruh bandar dagang dan pelabuhan yang menghasilkan lada di seantero Sumatra dan Malaya, demikian juga dengan hasil-hasil lainnya, termasuk timah, telah berada di dalam koordinasi kekuasaan Sultan Iskandar Muda. Tidaklah mengherankan jika perekonomian Kesultanan Aceh Darussalam semakin mantap. Kas kesultanan bertambah penuh, pembangunan angkatan perang dapat diselenggarakan dengan lancar, demikian juga dengan pembangunan di sektor-sektor lain.

Ekspedisi Milter Sultan Iskandar Muda

Di sisi lain, Sultan Iskandar Muda ternyata masih penasaran dengan Portugis yang berlindung di Malaka. Aceh melihat kedudukan Portugis di Malaka merupakan suatu ancaman besar. Kendati sudah dalam kondisi terdesak, Portugis masih saja melakukan kegiatannya dengan menghubungi negeri-negeri kecil yang sudah berada dalam kekuasaan Kesultanan Aceh Darussalam. Jadi, mau tidak mau Malaka dan Portugis harus dikalahkan dan untuk itu rencana menyerang Malaka tetap merupakan program yang selalu harus dijalankan dengan segera. Realisasi dari rencana itu terjadi pada 1629 di mana angkatan perang Kesultanan Aceh Darussalam menyiapkan pasukan berkekuatan 236 buah kapal dengan 20.000 prajuritnya.

Ketika armada perang Kesultanan Aceh Darussalam tiba di perairan Malaka, terlibatlah pertempuran di laut melawan armada Portugis. Aceh menang telak dalam perang ini sehingga pecahlah kekuatan angkatan laut Portugis. Hal yang sama juga terjadi dalam pertempuran darat. Angkatan perang Aceh Darussalam yang perkasa mengurung laskar tentara Portugis selama berbulan-bulan hingga tidak berkutik. Meski di atas angin, namun Sultan Iskandar Muda ternyata bisa lalai juga. Karena terlalu berkonsentrasi dalam upaya pengepungan, angkatan perang Aceh Darussalam tidak memperhitungkan, dengan tidak mengadakan penjagaan yang ketat di laut, adanya bantuan-bantuan dari luar kepada Portugis. Portugis sendiri telah mengantisipasi strategi pengepungan oleh Aceh Darussalam dengan menyediakan bahan makanan di dalam benteng untuk berbulan-bulan lamanya.

Tidak lama semenjak pengepungan yang ketat itu, tibalah kapal-kapal yang membawa bala bantuan untuk Portugis yang sangat banyak dari Pahang. Pada saat angkatan perang Aceh Darussalam menghadapi bantuan dari Pahang itu, datang lagi bala bantuan untuk Portugis dari Goa, Sulawesi, yang dipimpin langsung oleh Nuno Alvares Bethelho, Gubernur Jenderal Portugis untuk Goa. Nuno Alvares sampai datang sendiri memimpin armadanya untuk membebaskan Portugis di Malaka yang sudah terkepung itu. Dengan demikian dapat dikatakan, di antara beberapa pendaratan Aceh dan pertempurannya di Malaka, mulai dari awal Portugis menduduki kota itu, sampai pada pertempuran di tahun-tahun 1547, 1568, 1579, dan lain-lainnya, yang terjadi di tahun 1629 itulah yang menjadi pertempuran paling hebat (Said a, 1981:287). Dalam peperangan besar itu, karena dikeroyok oleh beberapa kekuatan musuh yang besar, akhirnya angkatan perang Kesultanan Aceh Darussalam mengalami kekalahan. Sejak kekalahan di Malaka itu, Kesultanan Aceh Darussalam tidak lagi mengalami kemajuan dalam kancah politik luar negeri. Selain itu, dikabarkan pula beberapa tahun kemudian pihak Kerajaan Pahang/Johor sendiri menjalin hubungan persahabatan kembali dengan Aceh Darussalam. Hal tersebut disebabkan karena telah terjadi pernikahan antara putri Sultan Iskandar Muda dengan putra Raja Ahmad, pemimpin Pahang, bernama Iskandar Tsani yang kelak menjadi Sultan Aceh Darussalam menggantikan Sultan Iskandar Muda.

Pemimpin terbesar Kesultanan Aceh Darussalam, Sultan Iskandar Muda, akhirnya meninggal dunia pada 28 Rajab 1046 Hijiriah atau 27 Desember 1636 Masehi, dalam usia yang relatif masih muda, 46 tahun. Menurut T.H. Zainuddin seperti yang dikutip oleh H. Mohammad Said dalam bukunya bertajuk “Aceh Sepanjang Abad” (Waspada Medan, 1981), Sultan Iskandar Muda mempunyai 3 orang anak. Pertama adalah seorang anak perempuan bernama Puteri Sri Alam, yang merupakan buah hati Sultan dengan Permaisuri dari Reubee. Kedua, dari selir yang berasal dari Habsyi, Sultan Iskandar Muda memperoleh anak lelaki bernama Imam Hitam, yang kelak menurunkan Panglima Polim. Anak terakhir Sultan Iskandar Muda adalah Meurah Peupo, diperoleh dari istri selir yang berasal dari Gayo. Menurut adat serta hukum yang berlaku di Aceh saat itu, anak dari gundik/selir tidak bisa diangkat menjadi raja (Said a, 1981:332). Sepeninggal Sultan Iskandar Muda, eksistensi Kesultanan Aceh Darussalam masih terus berlanjut kendati belum bisa mencapai kejayaan seperti yang diperoleh semasa kepemimpinan Sultan Iskandar Muda.

C. Keruntuhan Kesultanan Aceh Darussalam

Kesultanan Aceh Darussalam pernah pula dipimpin oleh seorang raja perempuan. Ketika Sultan Iskandar Tsani mangkat, sebagai penggantinya adalah Taj`al-`Alam Tsafiatu`ddin alias Puteri Sri Alam, istri dari Sultan Iskandar Tsani yang juga anak perempuan Sultan Iskandar Muda. Ratu yang dikenal juga dengan nama Sri Ratu Safi al-Din Taj al-Alam ini memerintah Kesultanan Aceh Darussalam selama 34 tahun (1641-1675). Masa pemerintahan Sang Ratu diwarnai dengan cukup banyak upaya tipu daya dari pihak asing serta bahaya pengkhianatan dari orang dalam istana. Masa pemerintahan Ratu Taj`al-`Alam Tsafiatu`ddin selama 34 tahun itu tidak akan bisa dilalui dengan selamat tanpa kebiksanan dan keluarbiasaan yang dimiliki oleh Sang Ratu. Dalam segi ini, Aceh Darussalam bisa membanggakan sejarahnya karena telah mempunyai tokoh wanita yang luar biasa di tengah rongrongan kolonialis Belanda yang semakin kuat.

Pemerintahan Kesultanan Aceh Darussalam sepeninggal Ratu Taj`al-`Alam Tsafiatu`ddin yang wafat pada 23 Oktober 1675 masih diteruskan oleh pemimpin perempuan hingga beberapa era berikutnya. Adalah Sri Paduka Putroe dengan gelar Sultanah Nurul Alam Naklatuddin Syah yang menjadi pilihan para tokoh adat dan istana untuk memegang tampuk pemerintahan Kesultanan Aceh Darussalam yang selanjutnya. Konon, dipilihnya Ratu yang juga sering disebut dengan nama Sri Ratu Naqi al-Din Nur al-Alam ini dilakukan untuk mengatasi usaha-usaha perebutan kekuasaan oleh beberapa pihak yang merasa berhak. Namun pemerintahan Sri Ratu Naqi al-Din Nur al-Alam hanya bertahan selama 2 tahun sebelum akhirnya Sang Ratu menghembuskan nafas penghabisan pada 23 Januari 1678. Dua pemimpin Kesultanan Aceh Darussalam setelah Sri Ratu Naqi al-Din Nur al-Alam masih dilakoni kaum perempuan, yaitu Sri Ratu Zaqi al-Din Inayat Syah (1678-1688),dan kemudian Sri Ratu Kamalat Syah Zinat al-Din (1688-1699).

Setelah era kebesaran Sultan Iskandar Muda berakhir, Belanda mencium peluang untuk kembali mengusik tanah Aceh. Memasuki paruh kedua abad ke-18, Aceh mulai terlibat konflik dengan Belanda dan Inggris. Pada akhir abad ke-18, wilayah kekuasaan Aceh di Semenanjung Malaya, yaitu Kedah dan Pulau Pinang dirampas oleh Inggris. Tahun 1871, Belanda mulai mengancam Aceh, dan pada 26 Maret 1873, Belanda secara resmi menyatakan perang terhadap Aceh. Dalam perang tersebut, Belanda gagal menaklukkan Aceh. Pada 1883, 1892 dan 1893, perang kembali meletus, namun, lagi-lagi Belanda gagal merebut Aceh.

Beberapa Peninggalan Sejarah Kesultanan Aceh Darussalam yang Masih Tersisa

Memasuki abad ke-20, dilakukanlah berbagai cara untuk dapat menembus kokohnya dinding ideologi yang dianut bangsa Aceh, termasuk dengan menyusupkan seorang pakar budaya dan tokoh pendidikan Belanda, Dr. Snouck Hugronje, ke dalam masyarakat adat Aceh. Snouck Hugronje sangat serius menjalankan tugas ini, bahkan sarjana dari Universitas Leiden ini sempat memeluk Islam untuk memperlancar misinya. Di dalaminya pengetahuan tentang agama Islam, demikian pula tentang bangsa-bangsa, bahasa, adat-istiadat di Indonesia dan perihal yang khusus mengenai pengaruh-pengaruhnya bagi jiwa dan raga penduduk (H. Mohammad Said b, 1985:91). Snouck Hugronje menyarankan kepada pemerintah kolonial Hindia Belanda agar mengubah fokus serangan yang selama ini selalu berkonsentrasi ke Sultan dan kaum bangsawan, beralih kepada kaum ulama. Menurut Snouck Hugronje, tulang punggung perlawanan rakyat Aceh adalah kaum ulama. Oleh sebab itu, untuk melumpuhkan perlawanan rakyat Aceh, maka serangan harus diarahkan kepada kaum ulama Aceh tersebut. Secara lebih detail, Snouck Hugronje menyimpulkan hal-hal yang harus dilakukan untuk dapat menguasai Aceh, antara lain:

1. Hentikan usaha mendekat Sultan dan orang besarnya.
2. Jangan mencoba-coba mengadakan perundingan dengan musuh yang aktif, terutama jika mereka terdiri dari para ulama.
3. Rebut lagi Aceh Besar.
4. Untuk mencapai simpati rakyat Aceh, giatkan pertanian, kerajinan, dan perdagangan.
5. Membentuk biro informasi untuk staf-staf sipil, yang keperluannya memberi mereka penerangan dan mengumpulkan pengenalan mengenai hal ihwal rakyat dan negeri Aceh.
6. Membentuk kader-kader pegawai negeri yang terdiri dari anak bangsawan Aceh dan membikin korps pangrehpraja senantiasa merasa diri kelas memerintah (Said b, 1985:97).

jf_pratama Publish time 15-1-2011 01:56 PM

Saran ini kemudian diikuti oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda dengan menyerang basis-basis para ulama, sehingga banyak masjid dan madrasah yang dibakar Belanda. Saran Snouck Hugronje membuahkan hasil: Belanda akhirnya sukses menaklukkan Aceh. Pada 1903, kekuatan Kesultanan Aceh Darussalam semakin melemah seiring dengan menyerahnya Sultan M. Dawud kepada Belanda. Setahun kemudian, tahun 1904, hampir seluruh wilayah Aceh berhasil dikuasai Belanda. Walaupun demikian, sebenarnya Aceh tidak pernah tunduk sepenuhnya terhadap penjajah. Perlawanan yang dipimpin oleh tokoh-tokoh adat dan masyarakat tetap berlangsung. Aceh sendiri cukup banyak memiliki sosok pejuang yang bukan berasal dari kalangan kerajaan, sebut saja: Cik Dik Tiro, Panglima Polim, Cut Nya` Dhien, Teuku Umar, Cut Meutia, dan lain-lainnya. Akhir kalam, sepanjang riwayatnya, Kesultanan Aceh Darussalam telah dipimpin lebih dari tigapuluh sultan/ratu. Jejak yang panjang ini merupakan pembuktian bahwa Kesultanan Aceh Darussalam pernah menjadi peradaban besar yang sangat berpengaruh terhadap riwayat kemajuan di bumi Melayu.

2. Silsilah

Sepanjang riwayat dari awal berdiri hingga keruntuhannya, Kesultanan Aceh Darussalam tercatat telah berganti sultan hingga tigapuluh kali lebih. Berikut ini silsilah para sultan/sultanah yang pernah berkuasa di Kesultanan Aceh Darussalam:

1. Sultan Ali Mughayat Syah (1496-1528)
2. Sultan Salah ad-Din (1528-1537)
3. Sultan Ala ad-Din Ri`ayat Syah al-Kahar (1537-1568)
4. Sultan Husin Ibnu Sultan Alauddin Ri`ayat Syah (1568-1575)
5. Sultan Muda (1575)
6. Sultan Sri Alam (1575-1576)
7. Sultan Zain al-Abidin (1576-1577)
8. Sultan Ala al-Din Mansur Syah (1577-1589)
9. Sultan Buyong atau Sultan Ali Ri`ayat Syah Putra (1589-1596)
10. Sultan Ala`udin Ri`ayat Syah Said Al-Mukammal Ibnu Sultan Firmansyah (1596-1604).
11. Sultan Ali Ri`ayat Syah (1604-1607)
12. Sultan Iskandar Muda Johan Pahlawan Meukuta Alam (1607-1636).
13. Sultan Iskandar Tsani (1636-1641).
14. Sri Ratu Safi al-Din Taj al-Alam atau Taj`al-`Alam Tsafiatu`ddin atau Puteri Sri Alam (1641-1675).
15. Sri Ratu Naqi al-Din Nur al-Alam (1675-1678)
16. Sri Ratu Zaqi al-Din Inayat Syah (1678-1688)
17. Sri Ratu Kamalat Syah Zinat al-Din (1688-1699)
18. Sultan Badr al-Alam Syarif Hashim Jamal al-Din (1699-1702)
19. Sultan Perkasa Alam Syarif Lamtui (1702-1703)
20. Sultan Jamal al-Alam Badr al-Munir (1703-1726)
21. Sultan Jauhar al-Alam Amin al-Din (1726)
22. Sultan Syams al-Alam (1726-1727)
23. Sultan Ala al-Din Ahmad Syah (1727-1735)
24. Sultan Ala al-Din Johan Syah (1735-1760)
25. Sultan Mahmud Syah (1760-1781)
26. Sultan Badr al-Din (1781-1785)
27. Sultan Sulaiman Syah (1785-?)
28. Sultan Alauddin Muhammad Daud Syah
29. Sultan Ala al-Din Jauhar al-Alam (1795-1815) dan (1818-1824)
30. Sultan Syarif Saif al-Alam (1815-1818)
31. Sultan Muhammad Syah (1824-1838)
32. Sultan Sulaiman Syah (1838-1857)
33. Sultan Mansur Syah (1857-1870)
34. Sultan Mahmud Syah (1870-1874)
35. Sultan Muhammad Daud Syah (1874-1903)

Catatan: Sultan Ala al-Din Jauhar al-Alam (sultan ke-29) berkuasa pada dua periode yang berbeda, diselingi oleh periode Sultan Syarif Saif al-Alam (1815-1818).

3. Wilayah Kekuasaan

Daerah-daerah yang menjadi bagian dari wilayah kekuasaan Kesultanan Aceh Darussalam, dari masa awalnya hingga terutama berkat andil Sultan Iskandar Muda, mencakup antara lain hampir seluruh wilayah Aceh, termasuk Tamiang, Pedir, Meureudu, Samalanga, Peusangan, Lhokseumawe, Kuala Pase, serta Jambu Aye. Selain itu, Kesultanan Aceh Darussalam juga berhasil menaklukkan seluruh negeri di sekitar Selat Malaka termasuk Johor dan Malaka, kendati kemudian kejayaan pemerintahan Kesultanan Aceh Darussalam di bawah pemerintahan Sultan Iskandar Muda mulai mengalami kemunduran pasca penyerangan ke Malaka pada 1629.

Wilayah Kesultanan Aceh Darussalam pada Sekitar Abad ke-14 dan 15

Selain itu, negeri-negeri yang berada di sebelah timur Malaya, seperti Haru (Deli), Batu Bara, Natal, Paseman, Asahan, Tiku, Pariaman, Salida, Indrapura, Siak, Indragiri, Riau, Lingga, hingga Palembang dan Jambi. Wilayah Kesultanan Aceh Darussalam masih meluas dan menguasai seluruh Pantai Barat Sumatra hingga Bengkulen (Bengkulu). Tidak hanya itu, Kesultanan Aceh Darussalam bahkan mampu menaklukkan Pahang, Kedah, serta Patani. Pembagian wilayah kekuasaan Kesultanan Aceh Darussalam pada masa Sultan Iskandar Muda diuraikan sebagai berikut:

1. Daerah Aceh Raja, dibagi dalam tiga Sagoi (ukuran wilayah administratif yang kira-kira setara dengan kecamatan) yang masing-masing dipimpin oleh seorang kepala dengan gelar Panglima Sagoi, yaitu:

* Sagoi XXII Mukim.
* Sagoi XXV Mukim.
* Sagoi XXVI Mukim.

Di bawah tiap-tiap Panglima Sagoi terdapat beberapa Uleebalang dengan daerahnya yang terdiri dari beberapa Mukim (ukuran wilayah administratif yang kira-kira setara dengan kelurahan/desa). Di bawah Uleebalang terdapat beberapa Mukim yang dipimpin oleh seorang kepala yang bergelar Imeum. Mukim terdiri dari beberapa kampung yang masing-masing dipimpin oleh seorang kepala dengan gelar Keutjhi.

2. Daerah Luar Aceh Raja, terbagi dalam daerah-daerah Uleebalang yang dipimpin oleh seorang kepala yang bergelar Uleebalang Keutjhi. Wilayah-wilayah di bawahnya diatur sama dengan aturan wilayah yang berlaku di Daerah Aceh Raja.

3. Daerah yang Berdiri Sendiri, di dalam wilayah kekuasaan Kesultanan Aceh Darussalam terdapat juga daerah-daerah yang tidak termasuk ke dalam lingkup Daerah Aceh Raja ataupun Daerah Luar Aceh Raja. Daerah-daerah yang berdiri sendiri ini diperintahkan oleh Uleebalang untuk tunduk kepada Sultan Aceh Darussalam (Hasjmy, 1961:3).

4. Sistem Pemerintahan

Ketika dipimpin oleh Sultan Ala ad-Din Ri`ayat Syah al-Kahar (1577-1589), Kesultanan Aceh Darussalam sudah memiliki undang-undang yang terangkum dalam kitab Kanun Syarak Kesultanan Aceh Darussalam. Undang-undang ini berbasis pada AlQuran dan Hadits yang mengikat seluruh rakyat dan bangsa Aceh. Di dalamnya, terkandung berbagai aturan mengenai kehidupan bangsa Aceh, termasuk syarat-syarat pemilihan pegawai kerajaan. Namun, fakta sejarah menunjukkan, walaupun Aceh Darussalam telah memiliki undang-undang, ternyata belum cukup untuk menjadikannya sebagai sebuah kerajaan konstitusional.

Pada era kepemimpinan Sultan Ala`udin Ri`ayat Syah Said Al-Mukammal Ibnu Sultan Firmansyah (1589-1604), Kesultanan Aceh Darussalam memiliki susunan pemerintahan yang sudah cukup mapan. Kesultanan diperintah oleh Sultan dengan bantuan lima orang besar (tokoh-tokoh yang dihormarti), bendahara, empat syahbandar. Pada saat itu, angkatan perang yang dimiliki Kesultanan Aceh Darussalam cukup kuat, yaitu mempunyai 100 kapal perang di mana setiap kapal bisa ditempatkan sekitar 400 orang prajurit. Selain itu, Kesultanan Aceh Darussalam juga mempunyai banyak sekali meriam-meriam besar yang terbuat dari baja. Kekuatan pertahanan darat diperkuat juga dengan adanya barisan gajah yang dipergunakan oleh para hulubalang (Said a, 1981:218-219).

Selanjutnya, pemerintahan Kesultanan Aceh Darussalam pada masa Sultan Iskandar Muda (1607-1636) merupakan masa kebanggaan dan kemegahan, tidak hanya dalam hal pengaruh dan kekuasaan, tetapi juga di bidang penertiban susunan pemerintahan, terutama dalam hal mengadakan penertiban perdagangan, kedudukan rakyat sesama rakyat (sipil), kedudukan rakyat terhadap pemerintah, kedudukan sesama anggota pemerintahan, dan sebagainya. Sultan Iskandar Muda telah merumuskan perundang-undangan yang terkenal dengan sebutan Adat Makuta Alam yang disadur dan dijadikan landasan dasar oleh sultan-sultan setelahnya.

Penertiban hukum yang dibangun Sultan Iskandar Muda memperluas kebesarannya sampai ke luar negeri, antara lain India, Arab, Turki, Mesir, Belanda, Inggris, Portugis, Spanyol, dan Tiongkok. Banyak negeri tetangga yang mengambil aturan-aturan hukum di Aceh untuk ditiru dan diteladani, terutama karena peraturan itu berunsur kepribadian yang dijiwai sepenuhnya oleh hukum-hukum agama. Dengan demikian, Adat Makuta Alam yang dicetuskan pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda adalah adat yang bersendi syara`. Hukum yang berlaku di Kesultanan Aceh Darussalam ada dua yakni hukum Islam dan hukum adat.

Dalam makalah bertajuk “Ichtisar Susunan dan Sistem Keradjaan Atjeh di Zaman Sultan Iskandar Muda” (1961) yang ditulis oleh A. Hasjmy disebutkan, susunan pemerintahan Kesultanan Aceh Darussalam pada masa Sultan Iskandar Muda menempatkan Sultan sebagai penguasa tertinggi pemerintahan, baik dalam bidang eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Sebagai penguasa tertinggi, Sultan memiliki hak-hak istimewa, antara lain:

1. Pembebasan orang dari segala macam hukuman.
2. Membuat mata uang.
3. Memperoleh hak panggilan kehormatan “Deelat” atau “Yag Berdaulat”.
4. Mempunyai kewenangan untuk mengumumkan dan memberhentikan perang.

jf_pratama Publish time 15-1-2011 01:58 PM

Mata Uang Kesultanan Aceh Darussalam

Dalam menjalankan roda pemerintahan, Sultan Aceh Darussalam dibantu oleh beberapa lembaga pendukung kesultanan, yaitu antara lain:

1. Majelis Musyawarah

Ketua dari majelis ini adalah Sultan Aceh Darussalam sendiri, sedangkan wakilnya adalah Wazir A`am (Menteri Pertama), dan anggota-anggotanya diangkat dari kalangan beberapa menteri serta dari kaum cerdik-pandai.

2. Pengadilan Sultan (Mahkamah Agung)

Sultan Aceh Darussalam juga menjadi ketua dari lembaga pengadilan tertinggi ini, sedangkan sebagai wakil adalah Ketua Kadhi Malikul Adil, dan anggota-anggotanya diangkat dari kalangan ulama dan cerdik-pandai.

3. Majelis Wazir (Dewan Menteri)

Sultan Aceh Darussalam duduk sebagai ketua majelis ini, sedangkan Wazir A`am (Menteri Pertama) bertindak sebagai wakilnya, dan anggota-anggotanya adalah dari kalangan para menteri kesultanan.

Selain itu, Sultan Aceh Darussalam bertindak sebagai Panglima Tertinggi Angkatan Perang dan dibantu oleh Kepala Staf Angkatan Perang yang bergelar Laksamana sebagai wakilnya. Sultan juga berposisi sebagai Pemimpin Tertinggi Kepolisian yang dibantu oleh Kepala Polisi Negara selaku wakilnya. Ibukota Kesultanan Bandar Aceh Darussalam (termasuk istananya) berada langsung di bawah pimpinan Sultan yang dibantu oleh pejabat dengan gelar Teuku Panglima Kawaj sebagai wakilnya. Di samping itu, Sultan dibantu pula oleh dua orang Sekretaris Kesultanan yang terdiri dari dua gelar, yaitu (1) Teuku Keureukon Katibumuluk Sri Indrasura (jabatan ini kira-kira seperti Menteri Sekretaris Negara), dan (2) Teuku Keureukon Katibulmuluk Sri Indramuda (semacam Ajun Sekretaris Negara) (Hasjmy, 1961:2).

5. Kondisi Sosial-Ekonomi

Penduduk Aceh sangat gemar berniaga. Mereka berbakat dagang karena memiliki cukup banyak pengalaman dalam bidang tersebut. Selain itu, kebanyakan masyarakat Aceh juga ahli dalam sektor pertukangan. Banyak di antara penduduk Aceh yang bermatapencaharian sebagai tukang emas, tukang meriam, tukang kapal, tukang besi, tukang jahit, tukang periuk, tukang pot, dan juga suka membuat berbagai macam minuman. Mengenai alat transaksi yang digunakan, pada sekitar abad ke-16, masyarakat Aceh yang bernaung di bawah pemerintahan Kesultanan Aceh Darussalam sudah mengenal beberapa jenis mata uang. Uang yang digunakan di Aceh kala itu terbuat dari emas, kupang, pardu, dan tahil (Said a, 1981:219).

(Iswara NR/Ker/01/08-2009)

Referensi:
Hasjmy, A. 1961. Ichtisar Susunan dan Sistem Keradjaan Atjeh di Zaman Sultan Iskandar Muda. Banda Aceh: Tidak Diterbitkan.
Langen, van, K.F.H. 1986. Susunan Pemerintahan Aceh Semasa Kesultanan. Alih Bahasa oleh Aboe Bakar. Banda Aceh: Dokumentasi dan Informasi Aceh.
Lombard, Denys. 2007. Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Said, Mohammad, H., a. 1981. Aceh Sepanjang Abad (Jilid Pertama). Medan: PT Percetakan dan Penerbitan Waspada Medan.
_______, b. 1985. Aceh Sepanjang Abad (Jilid Kedua). Medan: PT Percetakan dan Penerbitan Waspada Medan.
Sufi, Rusdi & Wibowo, Agus Budi, a. 2006. Kerajaan-kerajaan Islam di Aceh. Banda Aceh: Badan Perpustakaan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
_______, b. 2004. Ragam Sejarah Aceh. Banda Aceh: Badan Perpustakaan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Sulaiman, Isa. 1997. Sejarah Aceh: Sebuah Gugatan terhadap Tradisi. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
_______ & A.R., Madjid, A. (eds.). Belanda dan Aceh, Sebuah Bibliografi Sejarah. Aceh: Dinas Kebudayaan Provinsi NAD.

Sumber Foto:
Lombard, Denys. 2007. Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

alphawolf Publish time 17-1-2011 11:38 AM

Pasai kalah main teka teki dengan negeri Beringin Rendang. - Nujum Pak Belalang.
winamp05 Post at 13-1-2011 13:39 http://mforum3.cari.com.my/images/common/back.gif

tu sultan MASAI da.....

winamp05 Publish time 17-1-2011 12:22 PM

tu sultan MASAI da.....
alphawolf Post at 17-1-2011 11:38 AM http://mforum.cari.com.my/images/common/back.gif

ooo MASAI ka.. aku sangkakan PASAI ....... ye daa.... tengok balik muvie dia, memang MASAI da....

darthery Publish time 17-1-2011 05:13 PM

hahaha... kita menang untuk kali ke 5!! lol

ok.. good topic....Pasai Samudera n Acheh. Dua2 ni kerajaan Islam sebelum Melaka ke? sbb kAn tarikh penubuhan kerajaan Melaka telah dikatakan tersalah n sepatutnyer lebih awl? huh yg aku bace dlm surat khabar ar... klu ade sesiape yg boleh bgi tarikh awl ketiga2 kerajaan ni bagus gak.... senang nk compare....

off topic sket.. pada aku awl ke lmbt ke skrng nie ramai amah2/pembantu rumah dari bekas kerajaan besar majapahit dok tunggu nk datang kerja kat malaysia sbb hidup susah di sana huuhuhu.... sejarah penting tpi sekarang dan masa depan juga penting dan perlu dibangunkan supaya generasi akan dtg bangga dgn kita skrng ni seperti mana kita bangga dgn ke tiga2 kerajaan tersebut lol ok... jgn sejarah akan dtg akn menceritakan mengenai Indonesia ke Malaysia ke yg lemah n tidak mampu menyara rakyatnya sendiri hingga perlu mengemis2 di luar negara....tu je lol
Pages: 1 [2]
View full version: Samudra Pasai + Aceh Darussalam - The First Islamic Kingdom in Indonesia


ADVERTISEMENT