CARI Infonet

 Forgot password?
 Register

ADVERTISEMENT

Author: cutestars

[END] Sewu Dino (1000 Hari) - based on true story by Simpleman UPDATE (#18, #24,

  [Copy link]
 Author| Post time 27-3-2021 10:24 AM | Show all posts
Edited by cutestars at 27-3-2021 07:18 PM

Mereka hanya diam, berusaha untuk tidak bersuara. Lalu, dari belakang, seseorang melangkah masuk.

Dini melihat dua temannya, yang nampak kacau-bilau. Dia bingung seraya berujar, "Korang tak dengar Mbah Tamin panggil? Bukak lah pintu!" (ga krungu mbah Tamin nyelok ta, ndang di bukak lawange)

"Jangan sembarangan-lah!" jawab Erna. Namun Dini memaksa mereka untuk buka pintu yang diketuk. Bahkan Sri turut memegang tangan Dini. Dini membulatkan matanya. Sampai akhirnya mereka beralah. (ojok ngawur koen!)

Dini membuka pintu.

Disana, Mbah Tamin berdiri. Dia hanya diam menatap mereka semua sebelum melangkah masuk ke rumah.

Anehnya, malam itu, wajah Mbah Tamin tampak merah padam. Dia tidak berbicara satu pun kepada mereka. Tidak membahas kenapa pintunya tidak langsung dibuka padahal dia sudah memanggil-manggil dari tadi.

Namun, Sri merasa Mbah Tamin tahu, bahawa dia baru saja lalai terhadap Dela.

Sri dan yang lain mengikuti Mbah Tamin. Beliau masuk ke dalam kamar Dela lalu perlahan, dia membuka keranda bambu kuning. Kali ini, dia membukanya tanpa mengikat Dela terlebih dahulu, seakan-akan ingin mengulang kesalahan Sri.

Hanya Sri dan Erna yang memandang hal itu dengan ngeri.

Sri mendekat perlahan seakan ingin melihat lebih dekat apa yang orang tua itu lakukan. Lalu, tiba-tiba, mata Dela terbuka. Dia melihat Mbah Tamin, menatapnya cukup lama, sebelum menangis meraung layaknya gadis kecil.

"Sakit, ki. Sakit sekali!" ujar Dela menangis teresa-esak. (loro ki. loro!)

Dela hanya menangis.

Mbah Tamin hanya bisa membelai rambut Dela berusaha menenangkannya. Pemandangan itu seperti melihat seorang ayah dan anak yang saling mengasihi. Namun, Sri masih belum mengerti, kenapa seakan Dela yang ini berbeza dengan Dela yang Sri dan Erna temui tadi. Apa yang terjadi sebenarnya?

"Sabar ya, nak. Sebentar lagi adalah puncak rasa sakitmu." ucap mbah Tamin, ida masih mengelus rambut Dela. (sing sabar yo nduk, mari iki puncak lorohmu)

Lalu Dela melirik ke arah Sri dan yang lain. Mereka hanya diam mematung. Tatapannya seakan mengucapkan "terima kasih sudah mahu menjaga saya."

Mbah Tamin lalu mengikat tangan dan kaki Dela. Tergambar wajah sedih Mbah Tamin saat itu. Lalu Mbah Tamin masuk ke dapur mengambil sebuah kain putih besar. Saat mbah Tamin kembali ke kamar Dela, Dela menangis semakin keras. Dia berulang kali meningatkan.

"Jangan ki, jangan kembalikan saya ke sana..." (ojok ki, ojok balekno aku nang kono)

Namun Mbah Tamin tetap meletakkan kain putih itu menutupi sekujur tubuh Dela yang meronta-ronta. Terakhir, Mbah Tamin membakar kemenyan  sebelum memegang kepala Dela, dan terdengar suara raungan yang menggoncang seisi rumah itu.

Sri dan Erna sampai beransur mundur. Sosok didalam kain itu terus meraung layaknya iblis yang Sri saksikan tadi. Kali ini, Dini yang baru nampak kejadian aneh di depan matanya kelihatan terusik, bingung dengan ada yang apa sebenarnya disini.

Terdengar suara marah dari dalam kain. Dia adalah dari wujud tadi yang Sri saksikan, "MANUSIA BANGSAT!!!" (menungso bejat!!!) jerit suara tua yang keluar dari mulut Dela dari dalam kain putih itu.

Mbah Tamin terus menekan kepala Dela membuat suara itu semakin menjerit marah. Setelah kurang lebihlima minit Mbah Tamin melakukan itu, perlahan-lahan, sosok itu mulai tertidur dan Mbah Tamin membuka kain itu. Dia melihat Dela memejamkan matanya.

******

"Sri, Erna, kalian ikut aku," kata Mbah Tamin memanggil mereka sementara Dini tetap dikamar, hanya dia yang belum mengerti apa yang terjadi disini. (Sri, Erna, melok aku)

Mbah Tamin duduk diteras rumah. Kegelapan hutan benar-benar mencengkam saat itu. Sri dan Erna berdiri, menunggu, sebelum Mbah Tamin menunjuk sesuatu di antara pepohonan, "Kalian nampak itu? (awakmu isok ndelok ikuh)

"Apa itu, Mbah?" tanya Sri, bingung. (nopo to mbah)

"Ke sini," arah orang tua itu. (mrene)

Mbah Tamin menempelkan jemarinya menekan mata Sri. Sri merasakan sengatan ketika Mbah Tamin menekan mata Sri membuatkan penglihatannya memudar perlahan-lahan. Setelah mencuba memfokuskan matanya, Sri melihat lagi apa yang ditunjuk Mbah Tamin.

Bagai petir di siang hari, Sri melihat banyak sekali makhluk yang tidak bisa dia gambarkan kengeriannya. Mungkin ada ratusan, atau ribuan, seakan mengepung rumah itu!

Perlu waktu sedikit lama untuk mengamati makhluk-makhluk tersebut sampai Sri akhirnya tidak sanggup lagi melihatnya. Sehingga Mbah Tamin menutup kembali pengelihatan itu, mencabut sesuatu dari ubun-ubun Sri.

Dengan mata jauh menerawang, dia mengatakan kepada Sri. "Jiwa yang dibuat untuk mati mengundang makhluk seperti mereka ke sini," kata Mbah Tamin. (sedo bengi mangkuk nang rogo iku ngunu undangan gawe lelembut)

"Kamu lupa dengan perintahku, Sri. Itu sangat berbahaya dan bisa membunuh Dela. Jangan ulangi, ya." kata orang tua itu dengan nada seperti mengingatkan. (awakmu lali perintahku Sri, iku ngunu bahaya. isok mateni Dela. ojok sampe lali maneh yo Sri)

Erna yang sedari tadi diam saja, ikut berbicara. "Mbah, bagi tahu kami. Apa yang jadi dengan Dela? Kenapa dia sampai nak bunuh saya dengan Sri?" (mbah, enten nopo sami Dela, kok isok Dela kate mateni kulo kaleh Sri)

Mbah Tamin duduk lagi, lalu mengatakan "bererti kamu sudah lihat..." (berarti wes ndelok)

"Itu adalah Sengarturih, yang ingin membunuh Dela. Tapi tidak bisa, kerana dia memerlukan pasangannya untuk melaksanakan tugasnya. Mereka ini seperti sepasang suami isteri. Santau seribu hari hanya dimiliki oleh orang yang siap menanggung dosa dan siap mati bersama," jelas Mbah Tamin. (iku ngunu Cayajati, sing kepingin mateni Dela, tapi ra isok. mergane cayajati butuh singgarahane. koyok sak bojo, santet sewu dino, mek di nduwei ambek wong pados sing wes podo siap mati)

Sri dan Erna masih terlihat bingung dan tidak mengerti dengan jawapan Mbah Tamin.

Mbah Tamin mengelamun jauh, menatap sisi hutan tergelap yang Sri saksikan dengan mata kepala sendiri. Sah, mereka tidak sendirian di hutan ini.

Dengan suara berat, Mbah Tamin mengatakannya. "Terlalu awal untuk kalian tahu tentang ini." (terlalu awam untuk mengerti ini)

"Intinya, ilmu santau seribu hari ialah pembuka kepada sebuah jalan untuk mengakhiri satu garis keluarga sampai habis kesemuanya," jelas Mbah Tamin lagi. Setelah percakapan itu, Mbah Tamin melangkah masuk ke dalam biliknya lalu mengunci pintunya. Membiarkan semua kejadian itu meluap berlalu begitu saja. (intine, ilmu santet sewu dino, iku pembuka ritual, kanggo mateni sak keluarga sampe sekabehe keturunan iku entek)

Kenyataan dari Mbah Tamin meninggalkan sebuah pertanyaan besar yang masih menggantung di atas pikiran Sri dan Erna.

******

Pagi itu, di sekitar rumah gubuk yang mereka diami, kabus tebal menutupi selok-belok hutan. Kabus itu mampu membuat pandangan mata siapa pun terbatas.

Sejak fajar menyingsing, Sri dan Dini sudah ada di perigi. Mereka mencuci pakaian untuk keseharian mereka sedangkan Erna tengah memandikan Dela di dalam kamar sampai terdengan langkah kaki seseorang. Sri yang pertama mendenganya.

Sri berdiri untuk melihat. Dari jauh, sosok hitam muncul dari balik kabus. Perwatakannya begitu familiar.

Sosok itu semakin dekat menghampiri rumah itu. Semakin dia mendekat, semakin terlihat jelas. Sri semakin yakin, dan benar tekannya! Sri mematung sesaat, sebelum Dini ikut berdiri dan melihat apa yang membuatkan Sri nampak tercegat dalam ekspresi wajahnya manakala Dini sendiri melihat.

Mbah Tamin mendekat ke arah mereka dengan wajah yang letih.

Ketika Mbah Tamin berdiri di depan Sri, dia seraya bertanya, apakah patang-larang beliau sudah dijalankan.

Sri hanya diam. Bibirnya gementar, tidak mampu menjawab. Dini lah yang berinisiatif mengambil situasi, dia berucap lirih. "Mbah, bukannya semalam Mbah balik?" (mbah, sampeyan mambengi mbotan mantok ta?)

Mbah Tamin yang mendengar itu, tiba-tiba mengejang. Otot wajahnya mengeras lantas memandang Sri dengan ekspresi tidak percaya, ada kemarahan dalam tatapannya.

"Bukannya aku dah bagi tahu, JANGAN BUKA PINTU!" (awakmu gak wes tak kandani, OJOK MBUKAK LAWANG!)

Terjadi ketegangan dalam situasi itu. Sampai, tiba-tiba Mbah Tamin mencengkam leher Sri. Dini yang melihat itu menjadi panik.


Reply

Use magic Report


ADVERTISEMENT


 Author| Post time 27-3-2021 11:07 AM | Show all posts
Edited by cutestars at 27-3-2021 11:09 AM

"SIAPA YANG KAU BAGI MASUK? DIMANA SEKARANG DIA BERADA?" Mbah Tamin marah besar. (SOPO SING MOK OLEHI MELBU OMAH, NANG NDI MAKHLUK IKU!)

Dini mencuba menahan tangan Mbah Tamin. Muka Sri pucat menahan ketakutan.

"Di bilik Mbah... Dia masuk kesitu..." ucap Dini. Mbah Tamin sempat melirik Dini dengan wajah marah, sebelum bergegas masuk ke rumah setengah berlari untuk melihat apa yang ada di dalam biliknya. (nang kamar njenengan mbah, tiange mlebet mriku)

Sri dan Dini ikut mengejar, bahkan mereka sempat melihat Erna yang terdiam mematung, seakan terkejut melihat Mbah Tamin muncul dari luar rumah. Padahal dia tahu betul si Mbah belum keluar dari kamarnya sejak semalam masuk kesana.

Tepat ketika mereka sampai disana, mereka melihat seseorang telah memecah bilik Mbah Tamin. Habis semua barang Mbah Tamin berselerak, namun, ysng membuat semua orang tercengang adalah, di atas ranjang tempat tidur beliau, ada 'patek' (nisan dari kayu) yang tertulis nama "Atmojo".

Itu adalah nama keluarga tempat mereka bekerja: Krasa Atmojo.

Mbah Tamin berdiri cukup lama memeriksa objek itu. Tanpa melihat Sri dan Dini, Mbah Tamin berucap "apa yang dilakukan bila dia disini semalam?" (opo sing di lakoni nang kene mambengi ndok)

Sri kali ini yang bicara. Dia menceritakan semuanya, termasuklah hal Dela. Raut wajah Mbah Tamin berubah, dia diam sebelum akhirnya berjalan menuju Dela.

Mbah Tamin melihat anak gadis itu masih terlelap dalam tidurnya. Dia membelai Dela seperti anak gadisnya sendiri, sama seperti sosok yang Sri lihat semalam.

Siapa sosok itu sebenarnya? Sri terlihat berfikir mencari tahu jawapan itu.

******


Setelah hari itu, Mbah Tamin mengatakan dia akan lebih sering keluar rumah. Pesannya sama seperti dulu, jangan buka pintu walau apa pun yang terjadi. Manakala di luar, hari sudah petang.

Sri, Erna dan Dini serentak mengangguk memberi petanda mereka faham dengan arahan itu. Namun, perlahan-lahan mereka bertiga mulai memikirkan satu hal yang sama, kemana si Mbah sebenarnya.

Hari itu, Sri, Erna dan Dini masih melakukan tugas mereka secara bergantian sama seperti biasanya.

Sampai suatu pagi, si Mbah belum juga pulang. Ini aneh, fikir Sri. Dini dan Erna sedang di perigi seperti biasa, mereka sedang mencuci pakaian mereka. Saat itu, Sri baru saja habis memandikan Dela.

Sri melihat tidak ada yang berubah dari gadis itu. Sebenarnya, Sri melihat kalau keadaan Dela tidak dibuat sehingga seperti ini, dia melihat sosok gadis muda yang cantik jelita. Tidak hanya itu, perawakannya memang layak menjadi dambaan bagi pemuda-pemuda di luar sana. Walau bagaimanapun, nasib seperti mempermainkan gadis muda ini. Sri merasa bersimpati.

Apabila dia selesai melaksanakan tugasnya, tiba-tiba terpecik fikiran penasaran. Selama ini, bila difikir-fikir, dia belum pernah masuk ke bilik Mbah Tamin. Selama ini, Sri hanya melihatnya dari luar. Sri hairan, kira-kira apa yang orang tua itu simpan di dalam kamarnya?

Setelah melihat dan memastikan tidak ada orang disana, Sri membuka pintu bilik itu, yang memang tidak dikunci. Sri melangkah masuk melihat kamar Mbah Tamin. Tidak ada yang istimewa selain benda yang sama yang dia temui di dalam bilik yang Sri tidur. Lalu, mata Sri tertuju pada sebuah almari tua.

Dia membuka almari itu dan menjumpai pakaian Mbah Tamin. Selain itu, tidak ada apapun di dalamnya, bahkan di antara selipan almari dari atas hingga bawah.

Kemudian, mata Sri tertuju pada sebuah meja yang sudah usang. Ada sebuah laci kecil. Dengan jantung berdegap kencang, Sri membuka dan melihat isinya.

Dalam laci itu, Sri menjumpai satu 'pasak jagor' (patung yang berisi rumput mati). Bentuknya sudah sangat hancur akibat dicabik dan ditusuk. Masalahnya, Sri tahu benda apa itu! Itu adalah benda yang sering digunakan sebagai alat untuk santau! Apa yang sebenarnya orang tua itu lakukan?


Tidak hanya itu. Ada beberapa benda lain juga termasuk sebuah cincin batu akek dengan batu merah. Dan terakhir, sebuah foto yang lama, dibelakangnya tertulis "keluarga Atmojo". Ketika Sri memperhatikan foto itu, dia memekik ngeri!

Ada Mbah Krasa dan seluruh keluarganya yg pernah dia lihat sewaktu dirumah keluarga waktu Sri hadir untuk meminta kerja!

Terkejut.

Takut.

Bulu roma Sri merinding.

Itu yang Sri rasakan. Cepat-cepat dia meletakkan kembali barang-barang dia jumpa lalu menutup laci itu. Kemudian Sri melangkah keluar. Saat Sri membuka pintu, dia tersentak melihat Erna dan Dini menatapnya terkejut

"Eh, kau kenapa?" tanya Erna. (lapo koen?)

Sri berusaha untuk tidak membahas apa yang dia jumpa dalam bilik Mbah Tamin. "Tak ada apa-apa. Mbah suruh aku bersihkan bilik dia," jawab Sri, memberikan jawapan selamat. Sri terpaksa berbohong untuk keselamatan dirinya dan juga Erna dan Dini. (rak popo, aku di kongkon si mbah, mberseni kamare mambengi)

Walaupun curiga, Erna dan Dini menerima alasan Sri. Mereka berdua membiarkan hal itu berlalu begitu saja. Namun, perasaan Sri pagi itu sudah porak-poranda dengan pemikiran-pemikiran gilanya.

Sejak hari itu, setiap kali bertembung dengan Mbah Tamin di rumah, Sri seperti takut. Dia tidak bisa menutupi ketakutanya, namun, dari cara melihat si Mbah, nampaknya beliau tahu sesuatu dan itu membuatkan Sri tidak tenang.

Dia seringkali merasa Mbah Tamin memperhatikan gerak-geriknya.

Tapi malam itu, Sugik, pemandu yang menghantar mereka datang. Dia berbicara empat mata dengan Mbah Tamin, seakan ada sesuatu yang mendesak. Wajah Mbah Tamin tampak mengeras. Sri begitu penasaran, namun kali ini, dia menahan dirinya. Takut dirinya terjebak dalam masalah yang kelak akan membahayakan dirinya sendiri.

Sampai akhirnya, apabila perbincangan itu selesai, Mbah Tamin mendekat ke arah Sri. "Aku harus pergi ke rumah Krasa. Tolong jaga tempat ini dan ingat pesan aku. Lusa mungkin baru aku balik," jelas Mbah Tamin. (aku bakal melok Sugik nang kediamane Krasa, tolong, jogo omah iki, iling omonganku, yo ndok, mbah percoyo ambek awkmu, tetep lakonono tugasmu, iling yo, paling emben si mbah kaet muleh)


Sri mengangguk-angguk faham lalu memanggil yang lainnya. Mereka semua menatap satu sama lain, ada keraguan di mata mereka bila mengingat kejadian sebelumnya. Namun, tidak ada yg membangkang ucapan Mbah Tamin, kerana takut beliau akan marah lagi seperti sebelumnya.

******

Malam itu, ketika Mbah Tamin sudah pergi, Sri merasa dia harus memeriksa kamar beliau lagi. Dia tahu, masih ada yang harus dia cari tahu, termasuk teka-teki apa yg sebenarnya terjadi. Mungkinkah keluarga Krasa tidak tahu menahu perbuatan orang tua ini? Sri menunggu waktu yang tepat untuk memulakan rancangannya.

Sri menunggu Erna dan Dini terlelap. Bila dia sudah yakin yang dua orang itu sudah tertidur, Sri melangkah keluar dari biliknya. Dia melangkah menuju kamar Mbah Tamin yang hanya terpisah sselang satu bilik antara kamar Dela yang memang tanpa pintu itu.

Sejenak, Sri menguatkan dirinya lalu masuk. Dia membuka pintu bilik Mbah Tamin, membiarkannya tetap terbuka sementara dia mulai mencari dimana dia terakhir kali memeriksa benda keramat itu. Anehnya, dia tidak menjumpainya.

Sri tetap meneruskan pencariannya tapi hasil usahanya sia-sia. Sri tidak mememui objek itu dimanapun. Apakah si Mbah membawanya? Sri terdiam, berfikir, sampai ekor matanya menangkap sesuatu melintas di belakangnya.

Sri yakin ada sesuatu baru saja melintas di belakangnya melewati kamar Mbah Tamin. Sri melangkah keluar untuk memastikannya. Dia tidak tahu-menahu apa itu. Tiba-tiba, mata Sri tertuju pada isi bawah katil Mbah Tamin. Dia menduga benda itu ada disana, maka, Sri mulai perlahan-lahan membukanya.

Sri membuka semuanya, namun, dia tidak menemukan benda itu juga disana. Di tengah Sri masih berusaha mencari, terdengar suara pintu di tutup dari belakang. Sri terhenyak sejenak sebelum berbalik melihatnya.


This post contains more resources

You have to Login for download or view attachment(s). No Account? Register

x
Reply

Use magic Report

 Author| Post time 27-3-2021 11:21 AM | Show all posts
weh TT sambung kejap lagi. sakit dada TT edit cerita ni yihh banyak setan betullah.
Reply

Use magic Report

Post time 27-3-2021 01:18 PM From the mobile phone | Show all posts
cutestars replied at 27-3-2021 10:24 AM
Mereka hanya diam, berusaha untuk tidak bersuara. Lalu, dari belakang, seseorang melangkah masuk.

...

Oh my godddd
Reply

Use magic Report

Post time 27-3-2021 01:25 PM From the mobile phone | Show all posts
cutestars replied at 27-3-2021 11:21 AM
weh TT sambung kejap lagi. sakit dada TT edit cerita ni yihh banyak setan betullah.

Scarynya tt. Ni kisah benar ke tt. Jaga diri. Citer ni seram bangett
Reply

Use magic Report

 Author| Post time 27-3-2021 01:38 PM From the mobile phone | Show all posts
lilac85 replied at 27-3-2021 01:25 PM
Scarynya tt. Ni kisah benar ke tt. Jaga diri. Citer ni seram bangett

Aah cerita ni mmg based on true story..yg TT tahu sumber cerita ni watak Sri tu sendiri
Reply

Use magic Report

Follow Us
 Author| Post time 27-3-2021 03:08 PM | Show all posts
Sri terkejut. Di hadapannya kini dia melihat Dela menatapnya dengan senyuman menyeringai.

"Masih anak kecil, berani sekali cari masalah!" kata Dela seraya tetap berdiri menahan pintu, kepalanya menggeleng ke kiri dan kanan seakan menertawakan Sri yang tengah meringkuk ketakutan. (cah cilik wani, men nggolek masalah!)

"Eh, macam mana boleh ada dekat sini?" kata Sri tak kuasa menahan gementar di dada. (kok isok)

"Cuba kau fikirkan, nak. Kenapa orang tua itu membuka keranda ini dan tak ikat aku betul-betul. Rupanya untuk kau ya. Manusia ni memang lucu ya..." jelas Dela bersuara seperti orang tua. (coba pikirno, ndok. lapo wong tuwek situk iku mbukak kerandaku trus gak nyancang aku. rupane, kanggo awakmu toh. menungso iku lucu kadang yo)

Sri terdiam, dia tiba-tiba berfikir. Betul ke Mbah Tamin sengaja membuka keranda itu? Sial! Seharusnya, Sri berfikir bahwa kepergian beliau bukankah sesuatu yang aneh, tak lain dan tak bukan untuk dia melepaskan makhluk ini.

Dela merangkak, dia mendekati Sri yang sudah meringkuk. Namun aneh, si Dela hanya melihat wajah Sri sembari tetap tersenyum.

"Kau takkan mati, nak. Caranya buat aku malas mengambil nyawamu. Aku boleh bagi tahu kau bila kau ingin tahu sesuatu, ada apa disini..." Dela menyambung lagi. (awakmu gak bakal mati ndok, carane garai aku wegah njupuk nyowomu. tak kandani nek koen kepingin eroh, onok opo nang kene)

Sri masih diam, dia tidak dapat berbicara banyak. Ketakutan sudah memenuhi seluruh badannya.

"Ada sebuah pohon beringin di timur tempat ini. Cari sebuah batu bata dan buka isinya..." (wet ringin nang etan, tata watu sebelah kidul, bukak'en isine)

Dela berdiri seperti orang yang selayaknya sihat, membuka pintu, lalu menutupnya lagi. Sri yang masih terjebak dalam ketakutanya, perlahan-lahan berdiri. Dia melihat Dela yanf kembali tidur dan tidak lupa dia menutup kerandanya lalu ke berlalu ke bilik.

******

Pagi itu, seperti biasanya, Dini dan Erna sudah sibuk dengan kegiatannya sendiri sementara Sri meminta izin untuk menghabiskan waktu di kamar. Sri memberi alasan dia tengah tak sedap badan. Sri menyembunyikan rancangannya. Sebenarnya, Sri berniat ingin menuju ke tempat yang dia dengar dari sosok yang berada dalam badan Dela, yang dia temui semalam.

Sri menelusuri jalan dengan kabus pagi yang masih tebal. Di belah kiri dan kanan, pepohonan liar tumbuh dengan tinggi menjadi semak belukar menyelubungi langkah Sri. Di setiap langkah kaki, Sri terdengar gemersik dedaunan yang berserakan dengan aroma tanah yang masih tercium. Sri terus berjalan ke arah timur sampai dia melihat pohon yang dimaksudkan.

Dari jauh, pohon beringin itu tumbuh sendiri di antara semak belukar disekitarnya. Ada tanah lapang yang terbuka, seakan pohon itu dibiarkan menyendiri. Begitu kelam. Begitu menenggelamkan.Walaupun aneh, Sri justru mendekatinya, seolah-olah pohon itu memanggil-manggil kehadirannya.

Sri bertekad dia harus melakukannya. Dia harus melaksanakan seperti yang dirancang.

******

Meski cahaya matahari sudah terang benderang, namun di bawah pohon ini, seakan-akan cahaya itu tidak bisa menyentuhnya. Kehitaman dari rimbunan dedaunan pohon beringin ini boleh merentap jiwa sesiapapun yang ada di sekelilingnya.

Sri berputar mengelilingin pohon besar itu sampai dia menemukannya.

Sri menemukan sebuah kuburan dengan batu nisan bertuliskan sebuah nama yang tidak asing baginya.

"Dela Atmojo"

Sri terdiam mengambil waku untuk memproses informasi baru dihadapannya itu. Sri cuba menolak pemikiran yang bermain "Dela sudah meninggal?". Batin Sri menggoncang, tersesat dalam pola pemikirannya sendiri.

Rasa ingin tahu Sri bergabung dengan adrenalin yang datang entah dari mana, membuatkan dia menjadi berani di saat itu. Entah apa yang Sri fikirkan, dia langsung menggali tanah keras itu dengan jemarinya. Bila mana tanah itu mulai menyakiti jari-jemarinya, Sri mencari batu-batu di samping pohon itu untuk terus membongkar isi kuburan itu. Sri merasa ada yangg salah dengan kuburan ini termasuklah ukurannya yang tidak terlalu besar.

Benar saja, apa yang Sri lakukan tidak sia-sia. Dia menjumpai sebuah kotak kayu yang terbuat dari jati. Sri mengeluarkannya dari lubang itu, dan membongkar isinya. Sri terkejut. Dia menemukan sebuah boneka 'pasak jagor' (boneka yang diisi rumput mati) seperti yang pernah Sri temukan tempoh hari dalam bilik Mbah Tamin. Hanya saja boneka yang ini, dililit rambut hitam entah milik siapa.

Rambut hitam itu panjang melilit boneka itu. Sri ralit memeriksanya ketika tepat diai membuka lilitan tersebut, tiba-tiba terdengar suara tertawa mengilai yang membuat Sri terdiam sejenak. Sri memperhatikan keadaan sekitar.

Tidak ada siapa pun disana. Detik itu juga, Sri meninggalkan tempat itu, membawa benda itu bersamanya. Dia menyembunyikan benda itu di almari dalam biliknya lalu melanjutkan tugasnya hari itu.

Erna dan Dini tidak ada yang curiga dengan tindak-tanduk Sri. Seperti biasa, mereka membersihkan sekitaran rumah dan menyelesaikan tugas mereka sebelum malam datang.

Pada pengkiraan Sri, Mbah Tamin masih belum akan pulang hari ini. Malam menjengah. Sri ada di dapur, dan dia baru saja melihat Dini mengambil air. Malam ini, tugas Dini pula memandikan Dela di kamar, sedangkan Sri pula ditugaskan memasak untuk esok hari.

Erna pula berada di dalam kamar sendirian. Apabila Sri sudah selesai, dia berniat untuk pergi ke kamar yang mereka bertiga tempati tapi tiba-tiba firasatnya memburuk.

Saat dia menuju ke kamar, Sri berhenti sejenak untuk melihat Dini yang sedang membilas Dela. Sri melihatnya membilas tubuh anak malang itu dengan hati-hati.

Kemudian, dia lanjut ke kamarnya. Disitu, Sri tercegat apabila melihat Erna memegang boneka itu. Tangan Erna sedang melepas lilitan rambut hitam itu! Saat Erna sudah melepaskan rambut yang melilit patung jerami itu, tiba-tiba terdengar suara Dini berteriak yang spontan mengejutkan Sri dan Erna. Mereka segera melihat apa yang terjadi.

Belum sempat mereka sampai ke kamar Dela, tiba-tiba satu susuk tubuh merangkak keluar. Dela menatap Sri dengan senyuman menyeringai

"DELA!" pekik Sri dan Erna serentak.

Sosok Dela melihat mereka sejenak sebelum memuntahkan sesuatu di depan Sri dan Erna.

"Itu...Itu telinga..." kata Sri tidak percaya. Dia melihat Dini kini menangis di tepi keranda buluh kuning, memegang salah satu daun telinganya. Sosok Dela itu kemudian pergi keluar dari rumah dengan pantas.

Sebelum Dela pergi keluar rumah, Sri sepintas melihat di salah satu kaki Dela masih ada satu ikatan tali hitam. Sri sempat berfikir apa yang membuat Dela boleh lepas dari ikatan itu.

Dini masih menangis sementara Erna cuma bisa diam tidak mengerti. Kini, mereka menatap hutan gelap itu. Mereka sedar akan nahasnya jika Mbah Tamin tahu apa yang telah berlaku. Tak lupa juga pasti keluarga Atmojo akan marah besar! Mereka harus bertanggungjawab dengan mencari Dela di tengah hutan ini,atau orang tua itu akan membunuh mereka bertiga saat dia kembali esok hari.

Sri melangkah masuk ke dalam kamar dimana dia melihat Dini masih menangis dengan menutupi salah satu daun telinganya. Sri hanya terduduk.

"Dini" panggil Sri yang hanya dijawab tangisan penuh ketakutan. Sri mendekat dan melihat lebih jelas apa yg terjadi. Disitu dia dapat melihat dengan jelas ada telinga di atas lantai.

Sri tahu itu telinganya Dini.

Telinga Dini di atas lantai itu tampak benar-benar  robek dengan darah segar masih mengalir.

Dini kehilangan satu daun telinganya.

Ketegangan semakin memuncak. Dini tiba-tiba berujar sebuah kalimat, yang Sri yakini sebuah pesan:

"SISA WAKTU SERIBU HARI, ANAK INI HANYA TINGGAL MENUNGGU BARA API PADAM" ujar suara yang keluar dari mulut Dini. Sri mengerti apa yang dimaksudkan. Menunggu bara api padam merupakan kiasan jawa yang bermaksud menghitung waktu. Bererti Dela hanya menghitung waktu untuk menunggu diakhiri garis hidupnya. (sewu dinone cah ki, kari ngitung areng)

Sri bangkit dari tempatnya lantas melihat Erna yang masih terkejut dengan semua ini. "Jom kita cari budak tu sebelum dia pergi lebih jauh," cadang Sri. (ayok di goleki cah kui, pumpung rung adoh)

Erna yang mendengar itu lantas langsung sedar dengan lamunannya,"apa? Cari budak tu? Gila kau malam-malam macam ni" (he, golek cah iku, bengi ndedet ngene, gendeng koen)

Mendengarkan hal itu, Sri mendekati Erna, "kau memang tak faham keadaan ke. Kau nak orang tua tu tahu?" (awakmu gak paham ta posisine, yo opo nek wong tuwek iku eroh?)

Sebelum Erna menjawab pertanyaan itu, dia membaling boneka itu kemudian bertanya dengan nada keras: "NI SIAPA PUNYA. BENDA NI KAU PUNYA KAN?" (terus iki opo, sopo sing nduwe barang ngene, awakmu kan?)

Sri terdiam. Dia tidak bisa menjawab pertanyaan Erna sebab dia tidak tahu alasan apa yang harus diberikan. Kerana memang disebabkan [patung itulah semua ini terjadi dan itu berulah dari apa yang Sri temukan siang tadi. Pendek kata, Sri tahu ini memang berpunca dari dirinya.

"Jaga Dini. Biar aku yang cari budak tu," dengan setengah pasrah Sri berucap. (jogo Dini, biar tak cari cah iku)

Sri mengambil satu lampu petromax yang tergantung di pawon (dapur) lantas keluar dari rumah menembus kegelapan hutan yang sudah memanggil sedari tadi.


Reply

Use magic Report

Post time 27-3-2021 03:39 PM From the mobile phone | Show all posts
Excited nak tau apa yg jadi lagi lepas tu citer tt ni siang2 gagah aku baca, mlm2 x berani, kang nak terkucil dah mcm terngiang2 pulak
Reply

Use magic Report


ADVERTISEMENT


 Author| Post time 27-3-2021 04:31 PM | Show all posts
Edited by cutestars at 27-3-2021 08:08 PM

Baru saja keluar, Sri bisa merasakan hembusan angin dingin yang langsung menusuk tulang. Berbekalkan lampu petromax di tangan, Sri berlari entah kemana mengikuti sebatang jalan yang dia temukan dengan harapan dia masih boleh mengejar Dela yang boleh jadi berada dimana saja meski Sri asing dengan selok-belok hutan ini. Sejauh mata memandang, hanya bayangan pohon-pohon tinggi diselimuti kabus tebal. Hanya kedengaran suara tapak kakinya menembus semak belukar yang terkadang menggores kulitnya.

Selain itu, hembusan nafas Sri semakin berat kerana ketakutan sudah menemaninya semenjak keluar dari rumah. Sudah tidak terhitung berapa banyak dia melintasi pohon besar. Mata Sri awas melihat sekeliling sementara tangan dan kakinya meraba apapun yang bisa dia pegang hanya agar dia tidak tersembab pada tanah yang tidak rata. Namun, Sri masih belum menemukan tanda keberadaan Dela.

Bagai mencari jarum dalam tumpukan jerami, Sri mencari Dela di tengah kegelapan hutan seperti ini. Dia berjalan dari satu tempat ke tempat lain dengan rasa yang mustahil. Mustahil dia bisa menyisir keseluruhan hutan sampai suatu saat Sri tiba-tiba merasakan dari hatinya dia tahu dimana keberadaan gadis itu. Semoga telahannya benar.

Sri bisa melihat tempat itu bahkan dari jauh.

Bayangan hitam besar, di pohon rimbun itu, seakan tidak kehilangan kengerianya sedikitpun. Walaupun kaki Sri letih kerana menempuh jarak sejauh itu, dia mendekati pohon beringin itu tempat dimana dia menemukan patung jerami itu siang tadi.

Terdengar suara langkah kaki Sri yang menembus semak. Kini, dia berdiri tepat di bawah pohon itu melihat Dela yang seperti sudah menunggunya. Dela hanya duduk sambil menggoyangkan kakinya seakan tahu Sri akan menemukannya. Bahasa dan gerak tubuh Dela membuatkan Sri tidak nyaman. Mana tidaknya, terkadang Dela menggerak-gerakkan kepalanya seolah-olah tulang lehernya tidak dapat menampung kepalanya.

"Orang tua itu rupanya tidak bodoh ya. Sia-sia, ternyata aku tetap tak dapat keluar dari hutan ini," ujar benda yang ada dalam jasad Dela. (wong tuwek iku, rupane gak goblok yo. percumo, aku ra isok metu tekan alas iki)

Sri hanya diam. Dia juga bingung harus melakukan apa setelah menemui Dela.

"Waktunya sudah dekat. Sebentar saja lagi," perkataan terakhir Dela seperti sedang memberi isyarat tentang sesuatu bakal terjadi. (wes cidek waktune, diluk engkas)

Melihat Sri yang kebingungan, sosok itu bersuara lagi. "Masih belum faham? Rambut yang kawan kau lepaskan tu, kau rasa siapa punya?" (jek rong ngerti? rambut sing di culi kancamu iku, mbok pikir opo?)

"Rambut Dela," teka Sri.

Sosok itu mengangguk, "terus? Kau ingat aku sengaja nak tipu kau kan? Tak faham lagi ke?" mata Sri terbelalak mendengarnya jawapan itu. Di fikiran hanya satu perkara ketika ini. (teros? mbok pikir aku sengojo mbujuk awakmu to? jek rong ngerti pisan?)

"Erna!" ucap Sri seakan tidak percaya.

Seketika itu, Dela tertawa. Seumur hidup Sri, dia tidak pernah mendengar suara tertawa semengerikan itu.

Sri cepat kembali ke rumah tanpa Dela. Langkah kakinya berat memikirkan kemungkinan yang Sri pikirkan dari tadi dan saat dia masuk ke rumah, dia melihat darah yang mengalir dan tumpah. Sri mengikuti jejak darah itu yang berakhir di kamar mereka. Disitu dia melihat Dini menutupi wajah Erna dengan kain sambil menjelaskan kepada Sri, "Erna meninggal, Sri. Dia muntah darah..." (Erna paten, Sri. muntah getih)

Sri menyelak kain yang menutupi wajah Erna. Sri melihat hidung dan bibirnya diselimuti darah sama seperti patung yang Erna baling tadi, dimana di bahagian kepala si patung sudah hancur. Sekarang dia tahu penyebab sebenarnya santau ini.

Sri akhirnya menjelaskan semua kepada Dini, apa yang terjadi kepada Erna, apa yg terjadi kepada Dela, apa yang di sembunyikan orang tua itu, apa yang tidak dikatakan tentang pekerjaan ini.

Semuanya, berujung pada pemindahan santau saja, kerana ketiga-ketiga mereka yang memiliki garis kelahiran yang sama. Sri mengambil boneka itu, menunjukkanya kepada Dini.

"Patung ni menjadi alat untuk mencelakai Dela. Rambut Dela telah diikat sejak awal, siapa yang berani membuka lilitan rambut harus siap menerima akibat santaunya si Dela. Masalahnya, bila orang biasa yang melakukannya hanya akan mendatangkan kematian belaka. Beza lagi apabila yang membuka boneka ini mempunyai garis kelahiran yang sama dengan Dela, iaitu KITA, boleh membunuh dan meringankan beban untuk Dela. Aku yakin, patung ini ada yang lain, boleh sampai tiga atau sepuluh, itu aku tidak tahu. Tapi, Erna sudah menjadi korban salah satu bonekanya, tinggal kita berdua. Bodohnya aku, aku masih tak faham kalau akhirnya Erna malah membaling patung tu, yang sudah jadi pengganti penerimaan santau itu. Jadi bila boneka itu ikut rosak, patung jerami itu akan menuntut balas akibat perbuatan Erna," jelas Sri panjang lebar kepada Dini. Sri mengutuk diri sendiri kalaulah dia tahu lebih awal, Erna pasti masih hidup. (boneka iki, media kanggo nyantet Dela, dibulet rambute Dela ket awal, sopo sing wani mbukak rambut iki, kudu siap konsekuensi nompo santet'e Dela, masalahe, nek wong biasa seng bukak, mek nekakno nyowo dados. bedo maneh nek sing mbukak wetone podo karo Dela, yo iku kene, sisok mateni kene, isok ngeringano santet e Dela, aku yakin, boneka iki, gak mek siji, isok onok telu sampe sepuluh, aku gak eroh Din, tapi Erna wes dadi korban sawijine, kari awakmu karo aku. goblok'ku, aku ra ngerti Erna bakal mbanting bonekane, boneka sing wes dadi ganti sukmane dee, nek bonekane rusak, sing mbukak ikatan kui, nompo akibat perbuatane)

Dini yang mendengar itu hanya diam, wajahnya kebingungan. Malam itu, mereka lalui dengan akhir yang tragis itu.

******

Keesokan harinya, kereta Sugik datang. Sri dan Dini sudah lama menunggu kedatangan mereka. Mbah Tamin yang pertama keluar, diikuti Sugik si pemandu. Dia menggendong Dela dipunggungnya dan tampaknya, Mbah Tamin dan Sugik sudah tahu semuanya.

Yang tidak diketahui mereka adalah, Erna sudah meninggal.

Melihat hal itu wajah Mbah Tamin merah padam. Dia tidak berbicara banyak dan hanya mengatakan mereka harus membawa Erna pulang. Ternyata, kematian Erna di luar perkiraan Mbah Tamin.

Namun, ketika Sri ingin bertanya lebih jauh tentang ini, Mbah Tamin menatapnya dingin. "Tutup mulut kau! Dasar budak mentah! Tak tahu apa-apa, pandai-pandai ambil risiko." (tutupen ae lambemu, bayi ra eroh opo-opo ae, gegabah temen)

Itu adalah kali terakhir Sri keluar dari hutan itu.

******

Tidak ada percakapan apa pun selama dalam perjalanan. Mereka sedang menuju ke kediaman milik Mbah Krasa.

Sri dan Dini duduk di luar rumah. Di dalam, dia bisa melihat Mbah Krasa tampak berbicara serius dengan Mbah Tamin. Entah apa yang mereka bicarakan. Sri tidak tahu lagi harus apa melainkan dia hanya ingin pergi saja. Namun, bersediakah dia dengan akibat bila dia memilih pergi saja? Seperti dirinya, Dini pun berfikiran hal yang serupa. Bila pekerjaan dengan gaji besar itu memiliki risiko di luar nalar seperti ini, tidak akan ada orang waras yang mahu menerimanya.

Setelah menunggu lama, Sri dan Dini di panggil untuk menghadap Mbah Krasa. Sri dan Dini melangkah masuk, mereka dipersilakan duduk. Mereka memandang wanita yang selalu saja membuat Sri merasa segan setiap melihat matanya.

"Saya juga sedih mendengar nasib temanmu. Tapi, saya sudah menjamin bahawa keluarganya akan menerima semua ganjaran yang sesuai mereka dapat," Mbah Krasa membuka bicara. (aku melok sedih ambek nasih kancamu, ndok. tapi, aku wes jamin keluargane, bakal oleh kewajibane sing pantes diterimo)

"Sekarang, katakan apa saja yang kamu mahu tahu daripada saya," ada naga tegas tapi lembut dibaca Mbah Krasa. (sak iki, opo sing kepingin mok omongno nang ngarepku)

"Saya nak tarik diri," ujar Sri ringkas. Mbah Krasa memandang Sri cukup lama. Ada jeda keheningan diantara mereka. (kulo bade mundur mbah)

Suasana itu sama sekali tidak menyenangkan bagi Sri dan Dini sebelum Mbah Krasa tersenyum.

"Boleh. Tapi saya tidak akan menjamin nyawa kamu, nak," Sri dan Dini melihat satu sama lain menedengar jawapan Mbah Krasa. Mereka tidak mengatakan apa-apa lagi. Tidak berani. (iso. tapi, aku ra jamin nyowomu yo nduk)

"Sekarang ini, betul kamu berdua nak tarik diri ya?" tanya Mbah Krasa, kelihatan anak mata wanita itu ada sedikit api yang mencabar. (sak iki yo opo, mundur?)

"Maaf, Mbah" kata Dini dan Sri bersamaan. (mboten mbah)

Mbah Krasa mengangguk puas. "Sebetulnya, tidak perlu ada korban kalau kalian mengikuti apa yg Mbah Tamin katakan. Cuma perlu ikut saja. Apa susahnya dengar cakap orang tua?" (asline, raperlu onok korban, nak podo nurut ambek si mbah, mek butuh norot tok ndok, opo angel, ngerungokne wong tuwo)

Mbah Tamin langsung menatap Sri. Dia seakan tahu Sri menyimpan sesuatu yang selama ini dia tahu bahawa dalang dibalik semua ini adalah si Mbah Tamin sendiri. Namun, Sri masih merasa dia tidak memiliki bukti apa pun. Mata Mbah Tamin seperti mengawasinya seolah-olah enggan memberinya ruang untuk bicara dengan Mbah Krasa secara peribadi.

Namun entah bagaimana, dari mana datangnya keberanian Sri, dia lantas mengatakan apa yang dia jumpa di kamar Mbah Tamin ke Mbah Krasa. Bahkan, Sri menunjukkan boneka jerami yang dia temukan di bawah pohon beringin dan juga menyampaikan apa yang diucapkan dari cucunya Dela Atmojo.


Reply

Use magic Report

 Author| Post time 27-3-2021 05:08 PM From the mobile phone | Show all posts
Cece1234 replied at 24-3-2021 06:24 PM
I ske tgk cite hantu indonesia..lampor keranda terbang..perempuan tanah jahanam..apa ntah lagi i t ...

Perempuan tanah jahanam tu best.
Reply

Use magic Report

 Author| Post time 27-3-2021 06:46 PM | Show all posts
Mendengar hal itu, Mbah Krasa mengerutkan kening. Dia terdiam. Mbah Krasa memandang Mbah Tamin yang sedari tadi diam lantas berdiri, lalu, dia tertawa. Cukup membuat Dini dan Sri tersentak, seakan ucapan Sri hanyalah bualan kosong.


Lalu, Mbah Krasa mengatakanya."Kamu belum cerita ke budak-budak ni apa yg sebenarnya terjadi?" ucap Mbah Krasa tenang. (koen rung cerito ta nang cah-cah iki, opo sing asline kedaden?)


"Pandai-pandai sendiri," kata Mbah Tamin sambil tertawa kecil (kemeroh)


Beliau mengambil sesuatu di sakunya iaitu boneka yang sama termasuk foto keluarga Atmojo. Sri terlihat bingung. Apa yang terjadi sebenarnya?


"Aku ceritakan semuanya. Dengar sini. Tapi, bila aku dah cerita, apa yang akan terjadi kepada kalian, takkan boleh di cabut dan kalian harus ikut ya. Ikut sampai Dela boleh selamat, atau, nyawa kalian tidak akan selamat sama seperti Dela," ugut Mbah Tamin. (tak ceritakno kabeh sak iki, rungokno, nanging, nek aku wes cerito, opo sing bakal kedaden nang koen-koen iki, ra isok di cabut, awakmu, kudu nurut yo. nurut sampe Dela isok selamet, utowo, nyowo koen koen, ra bakal selamet podo karo Dela)


Sri dan Dini masih diam. Sebelah hati ingin mendengar penjelasan Mbah Tamin namun mereka sendiri takut dengan kenyataan yang berbaur ugutan baru sajs diucapkan oleh Mbah Tamin.


Mbah Tamin pula di satu sisi tanpa basa-basi menjelaskan cerita sebenar sembari menganggap kebisuan Sri dan Dini sebagai tanda setuju dengan syarat yang telah diberikan. "Nama santau ini ialah santau seribu hari, santau yang boleh membunuh garis keluarga besar melalui jiwa anak terakhir atau keturunan terakhir. Keluarga Atmojo sebenarnya sudah memiliki musuh dimana-mana dan asal mula semuanya berasal dari hal ini. Aku sudah lama menjaga keluarga ini. Aku tak sangka yang Dela akan menjadi korban santau seperti ini kerana santau ini adalah santau untuk para pendosa yang juga bakal mematikan keluarga yang mengirim santau ini." (santet sewu dino iku jenenge, santet gur mateni sak garis keluarga nganggo mateni sukmone tekan anak Ragil, keluarga Atmojo, wes nduwe musuh nang ndi nang ndi, dadi asal muasal kabeh iki, tekan lengahe aku, ngawasi keluarga iki, Dela, gak tak songko bakal dadi target santet iki)


Suara Mbah Tamin terdengar keras menahan dendam kesumat atas insiden ini. "Alat yang di gunakan santau ini bermacam-macam. Ssalah satunya, melalui boneka yg diisi rambut keluarga yang ingin dibunuh. Nasib Dela sekarang ada di boneka ini. Masalahnya, aku tak tahu dimana boneka ini ditanam, dan ada berapa pun aku tak tahu. Patung jerami yang kau jumpa adalah salah satu dari patung yang kau jumpa di rumah ini. Aku sengaja tanam patung itu disana, biar nanti bila masanya sudah sampai, boleh digunakan untuk meringankan sakit beban yang harus Dela tanggung. Ingat balik, aku selalu pesan jangan bukak pintu walau apa pun terjadi, tapi kau degil." tambah Mbah Tamin. (media kanggo santet iki, macem2, salah sijine, gawe boneka sing di isi rambut sing kepingin di entekno keluargane, nasib'e Dela, sak iki, di tentuno nang ndi boneka iki sak iki. masalahe, aku ra isok nggolek nang ndi kae boneka iku di tandor. lan onok piro, aku gak eroh. boneka sing mok temoni, iku salah sijine boneka sing tau tak temokno nang omah iki. aku sengojo nandor nang kunu, ben engkok, nek waktune, isok di gawe ngeringano beban lorohe Dela. iling, ben bengi aku wes ngilingno awakmu, ojok mbukak lawang tapi awakmu jek nambeng)


"Sebenarnya, keluarga yang mengirim santau ini masih mencari dimana keberadaan Dela. Sebab itulah alasan kenapa aku menyembunyikannya disana kerana tempat itu terlalu "ramai" untuk mencari keberadaan Dela. Dela tidak akan mati selagi sang Banarogo belum bertemu dengan Sengarturih. Selagi Dela belum meninggal, selagi itu santau ini tidak akan membunuh garis keturunan keluarga Atmojo!" Mbah Tamin menyebutkan dua nama yang membuat Sri dna Dini tidak mengerti. Banarogo? Sengarturih? Siapakah itu? (asline, keluarga sing ngirim santet iki, jek goleki Dela, soale, sak durunge Banarogo ketemu Sengarturih, Dela gak bakal isok mati)


"Siapa Sengarturih itu?" tanya Sri. (sinten sengarturih niku?)


"Yang sekarang boleh bangun kalau Dela tidak di ikat tali hitam itu." jawapan yang diberi Mbah Tamin sedikit masuk akal. Ada sekali dia mendengar nama itu waktu satu sosok menyerupai "Mbah Tamin" di suatu malam di rumah hutan kelmarin. (sing sak iki, tangi, nek Dela gak di cancang tali ireng iku)


"Jadi?" tanya Sri ingin tahu selanjutnya.


"Tinggal menunggu waktu datangnya Banarogo buat mencari isterinya, Sengarturih yang ada di tubuh Dela saat ini. Bila dia sudah menemukannya, keluarga Atmojo sudah tamat!" Bagi Sri, apa yang baru saja diucapkan oleh Mbah Tamin tak ubah seperti cerita dongeng untuk anak kecil yang serba ingin tahu sebuah kenyataan dari dunia yang tidak dapat dia lihat. Wujud rasa seperti kenapa ada hal-hal yang tidak masuk akal seperti ini dalam diri Sri saat itu, namun, presepsi itu harus dia pertimbangkan lagi terutamanya saat Sri melihat wajah Dini yang sedang menampilkan ekspresi ketakutan yang tidak pernah dia saksikan sebelumnya dari ibu dua anak itu. (kari ngenteni waktu, kanggo tekane Banarogo, nggoleki bojone Sengarturih sing onok nang awake Dela)


Satu-satunya yang Sri anggap lebih tua darinya kerana status wanita itu meski usia mereka hanya jarak dua tahun. Dini memilih menikah muda dan hal ituyang membawanya ke tempat ini. Ke tempat dimana dia harus meninggalkan dua anaknya, membantu suami untuk memenuhi keperluan hidup dua cinta hati mereka. Dini lebih memilih diam sembari menutup luka di daun telinganya yang harus dia ikhlaskan atas ulah dari bibir Dela atau mungkin, Sengarturih.


Setelah penjelasan Mbah Tamin yang dirasakan Sri bahawa ada beberapa kecil bahagian yang seakan disembunyikan, hal itu membuatkan Sri merasa orang tua ini sebenarnya memiliki agenda tersendiri. Namun Sri tidak dapat meneka apakah itu. Sorot mata si tua itu seakan memberitahu ada sebuah lagi rahsia yang tidak terungkap.


"Sudah selesaikan penjelasannya, nak? Kalau sudah, saya mintak diri dulu. Nanti biar Sugik yang menghantar kamu ke tempat dimana Dela berada," arah Mbah Krasa lalu beredar dari tempat itu. (wes mari to ndok penjelasane, nek wes dirasa mari, ibuk pamit, engkok, ben Sugik sing ngeterno awakmu karo, nang Dela)


Mbah Tamin pun ikut mengundurkan diri. Dia mengatakan bahawa setelah ini apa yang mereka alami di rumah gubuk hutan itu masih kecil dengan apa yang akan mereka saksikan dengan mata kepala sendiri. Ada kilatan mata dengan sudut bibir melengkung di wajah Mbah Tamin. Sri berkira-kira ini pasti ada rancangan lain.

Sugik belum kembali. Khabarnya, dia akan menjemput petang nanti. Sri masih belum tahu dimana Dela berada sekarang. Yang jelas, Dela tidak lagi disembunyikan di dalam hutan seperti sebelum ini. Entah tempat seperti apa lagi, Sri tidak tahu. Tapi firasatnya kuat mengatakan apa pun tempat itu, ada satu kejadian lebih besar bakal terjadi disana.


Ketika Sri sedang mempersiapkan barang-barang yang akan dibawa, Sri melihat Dini berdiri di luar pintu kamar tempat mereka berehat sebentar sebelum perjalanan berikutnya. Entah apa yang dilakukan Dini, membuatkan Sri curiga dan akhirnya mendekatinya, mempertanyakan apakah ada yang ingin dia sampaikan. Wajah Dini tidak dapat dibaca Sri ketika itu. Namun, setelah dirasa dia cukup menahan diri, Dini berujar dengan suara gementar. "Satu dari kita yang akan tetap bertahan hidup sampai semua ini selesai. Saya minta maaf, saya akan melakukan apa pun untuk tetap bertahan hidup." Ucapan Dini membuat Sri kebingungan. Apa yang Dini ucapkan? Dari mana dia dengar? (siji takan kene, sing bakal urip sampe iki mari, Sri, sepurane nak aku bakal ngelakoni opo ae ben isok tetap urip)


Setelah Sri mempertanyakan itu, Dini menunjuk ke telinga cacatnya dan menambah dengan lebih yakin. Dia menambah dengan sedikit tegas, "sebelum telingaku putus, Dela ada membisikkan sesuatu kepada aku. Satu dari kita yang akan selamat untuk berbagi sari bunga dari sisa santau ini." (sak durunge kupingku pedot, Dela mbisiki aku, siji sing bakal selamet kanggo Kembang klitih)


******


Sebuah kereta hitam yang Sri kenal baru saja masuk ke kediaman Atmojo. Sugik melangkah keluar. Sri dan Dini pun melangkah masuk ke dalam kereta setelah meminta diri dengan Mbah Krasa. Sugik pun menghantar Sri dan Dini menuju ke tempat dimana Dela berada sekarang.

"Aku turut berduka ya Sri, Mbak Din" kata Sugik. Dia tidak henti-hentinya memandang Sri dan Dini yang sejak pertama mereka masuk, tidak ada interaksi diantara mereka, seakan-akan memilih untuk diam bersama. Hal itu membuat suasana dalam kereta sedikit canggung. (aku melok berduka ambik kancamu Sri, mbak Din)


Benar dugaan Sri.


Jalan yang mereka tempuh sekarang bukanlah jalan menuju ke hutan kelmarin melainkan jalan menuju ke luar kota. Kira-kira jalan ini semacam menuju sebuah desa kerana ketika kereta itu masuk ke sebuah pintu gerbang, suasana sepi dari kehidupan desa ketika malam langsung menyambut mereka.


Banyak rumah yang masih menggunakan gedek (bambu anyam) di samping kiri kanan. Jarak setiap rumah saling berjauhan. Dari dalam kereta, Sri hanya bisa mengamati bahawa tempat ini tidak berbeza jauh dari nuansa ketika mereka tinggal di hutan. Masalahnya, Sri belum melihat satu manusia pun disini, seakan-akan ini adalah sebuah desa mati.


Kereta itu kini masuk ke sebuah lorong. Dengan pemandangan yang sama, batu kerikil keras di sepanjang jalan, menambah kesan bahawa desa ini pasti desa pinggiran. Jauh dari mana-mana. Ketika kereta berhenti, saat itulah, Sri melihatnya.


Mbah Tamin tengah berdiri di sebuah rumah yang menyerupai gaya bangunan pondok dengan atap melebar. Rumah dengan kayu jati yang menjadi corak bahan utama memberi isyarat kepada Sri ini adalah tempat yg dijanjikan.


Mbah Tamin berdiri di halaman rumah. Dan disampingnya, ada Dela.


Reply

Use magic Report

Post time 27-3-2021 08:03 PM From the mobile phone | Show all posts
Dasyat sungguh santau tu. Dini tu pon dah tekad nak survive
Reply

Use magic Report

 Author| Post time 27-3-2021 09:13 PM | Show all posts
Hal yang membuat Sri dan Dini tidak bisa berhenti melihat ke arah dua orang yang mereka kenal. Mereka seakan ngeri dengan pemandangan itu.

Dela berdiri disamping Mbah Tamin. Senyumannya menjadi pembuka sambutan kehadiran Sri dan Dini, yang tidak pernah Sri duga sama sekali.
Sugik melangkah keluar dan membuka pintu kereta. Sri dan Dini ikut keluar meski dengan langkah ragu. Mereka mendekati Mbah Tamin dan Dela yang sejak tadi menanti kedatangan mereka.

"Mbak Sri, ya. Terima kasih sudah menjaga saya dan terima kerja ni," sapa Dela ramah. Suaranya layaknya seperti gadis muda lainnya. (matur nuwun purun nerima kerjaan niki ngih mbak)

Sri hanya menyambut tangan Dela. Dia masih bisa melihat luka nanah dan perut buncitnya. Tidak ada yang berubah dari penampilan luarannya yang membuat siapa pun tidak akan sanggup melihatnya. Setelah melihat Sri dengan tatapan gembira, mata Dela beralih kepada Dini. Dia melakukan hal yang sama, memperkenalkan diri dan menyapa ramah. Sri hanya bingung, dia tidak pernah melihat kejadian ini sebelumnya. Apa yang Sri lihat di hadapannya sekarang adalah Dela yang berbeza. Ini bukan Dela yang dulu dia pernah rawat sewaktu di hutan dahulu.

Mbah Tamin hanya mengamati saja. Setelah berbasa-basi, Mbah Tamin mempersilakan Sri dan Dini masuk.  Didalam, Sri langsung bisa merasakan bahawa rumah ini jauh berbeza dari rumah gubuk itu. Rumah disini berkali-kali lipat lebih besar, tentu dengan nuansa jawanya yang kental. Hal itu, membuat Sri merasa ngeri saat memasukinya.

Setiap ruangan di rumah, besarnya bukan main. Banyak lukisan dengan corak kental adat budaya jawa yang bisa Sri saksikan langsung, namun, dari semua itu, ada satu lukisan yang menarik perhatian Sri. Sebuah lukisan yang biasa dia lihat.

Sri menatap dekat-dekat potret itu. Seorang wanita sedang berdiri bergaya dengan sanggul, mengenakan kebaya kain jarik, menatap lurus dan sedang memegang janin.

Yang membuatkan Sri tidak bisa mengalihkan perhatiannya adalah janin di lukisan itu memiliki dua kepala.

"Sri kamarmu ada di belakang. Sini, aku hantar." kata mbah Tamin. (Sri, kamarmu nang mburi, ayok tak terna)

Sri baru menyedari Dini tidak ada di belakangnya. Entah kemana dia mengikuti Mbah Tamin, menelusuri setapak demi setapak dan melihat banyak ruangan tanpa pintu.

Kamar Sri hanya ruangan kecil dengan beberapa perabot tua. Dia tidak lagi sebilik dengan Dini. Hanya ada sebuah jendela yang ditutup oleh langsir. Disana, Mbah Tamin mengatakan, "kalau sudah jam 12, jangan bukak pintu bilik. Jangan sesekali kau bukak. Ingat pesanku ini!" Tegas Mbah Tamin lalu pergi. (nek wes jam 12, lawang kamarmu ojok lali di tutup, ojok sampe mok bukak yo, pesenku iku tok)

Sri membuka langsir di jendelanya. Dia bisa merasakan bahawa keberadaannya disini, tidak ada bezanya dengan keberadaannya di hutan itu. Entah kenapa tempat ini sama saja, seperti memintanya membongkar apa yang ada disini.

******

Sri melihat Dela, dia baru saja melewati kamarnya dan menatapnya. Dela lalu menghilang dengan senyuman yang memancing perasaan ingi tahu Sri keluar meruap-ruap. Sri sudah mengunci pintu kamar dan jendelanya. Kini, dia berbaring di atas katil yang usang. Setiap kali dia bergerak, katil itu mengeluarkan suara spring yang menjengkelkan.

Tiada lampu elektrik di bilik itu melainkan hanya cahaya lilin dari meja. Sri merasa dia aman buat seketika, selebihnya dia terjaga dan tidak boleh tidur malam itu dengan pertanyaan yang penuh difikirannya.

Waktu terasa begitu lambat. Setiap detik yang berlalu, Sri merasakan dirinya cukup sepi di dalam kamar itu sehingga terdengar suara lirih. Suara yang membuat Sri merasa tidak sendiri lagi.

Suara itu terdengar datang dari luar kamar.

"Mbak Sri... Mbak... Ini aku, Dela..." ucap suara itu. (mbaaak Sriii, mbaaak, iki aku Dela)

Mendengar itu, Sri langsung tercegat. Entah apa itu, tai Sri tahu suara itu seakan mengancamnya.

"Mbak sudah tidur? Ini aku Dela, Mbak. Dibuka dulu pintunya, Mbak." suara itu sungguh sayu di pendengaran Sri. (mbak sampun tilem? niki aku Dela. mbak, di bukak lawange mbak)

Sri masih diam. Dia cuba menahan diri untuk keluar dan menjengah suara itu. Tapi suara itu masih tidak putus mengganggunya.

"Mbak Sri, saya tahu Mbak belum tidur. Bukaklah pintu, Mbak Sri, nanti, saya bagi tahu satu rahsia..." rayu suara yang mirip Dela itu lagi. (mbak Sri, aku loh eroh nek sampean jek melek, di bukak dilek nggih mbak, engkok, tak keki'i panuturan)

Kaki Sri mulai melangkah turun dari katil. Dia beranjak dari tempatnya namun dalam hatinya, dia masih ragu. Sri belum menjawab. Dia masih diam, membiarkannya ditelan sunyi sampai keheningan kembali menguasai suasana malam itu.

Senyap.

Suasana saat itu sangat senyap. Namun, perasaan itu seakan menekan Sri dalam kegilaan dan rasa ingin tahu yang saling melahap satu sama lain. Sri kira dia boleh gila kalau dibiarkan rasa tahunya itu ditelan mentah-mentah.

Benar saja. Keheningan itu membuat sebahagian fikiran Sri tertekan hingga Sri merasa bahawa Dela telah pergi.

Sri mencuba untuk menenangkan diri. Dia terduduk di atas katil itu dengan kaki yang sudah lemas.

Namun, tiba-tiba...

"BRAKK!!!" pintu kamar Sri dihentam oleh sesuatu yang sangat keras.

Setelah bunyi hentaman itu, suara tertawa yang pernah Sri dengar di hutan dulu muncul.

"Anak BODOH! Tak sayang nyawa! Kan aku dah cakap! Jumaat Kliwon! Fikirlah! FIKIRKAN!!!" suara itu berteriak keras. (cah GOBLOK, nyowomu iku sampe sepiro seh, tak kandani, jumat kliwon, pikirno iku yo ndok, PIKIRNO OMONGANKU!!!)

Sri hanya meringkuk ketakutan di atas katil mendengarkan suara itu. Dia tidak mahu menjawab siapa pun itu. Lalu, ada satu lagi suara muncul entah dari siapa, Sri tak mampu lagi mencerna semua yang terjadi kerana ketakutan sudah mula menguasai. "Sri, kalau sudah mau tidur, matikan lilin dulu ya..." Saat itu juga, lilin itu mati dengan sendirinya. Kegelapan malam itu, membuat Sri lemas dalam tangisan ketakutannya yang menggila. (Sri, nek kate tilem, liline di pateni yo)

******

"Dela datang jugak ke bilik awak semalam?" tanya sambil sibuk mencuci pakaian di perigi belakang. Sri yang baru tiba, hanya menganggukkan kepalanya lalu duduk di samping Dini. (Dela yo marani awakmu mambengi?)


"Kalau malam, memang Dela akan sakit," beritahu Dini. Ini adalah maklumat baru untuk Sri. (nek wes bengi, Dela kumat, jare mbah, ngunu)

"Mbah yang bagi tahu awak?" tanya Sri inginkan kepastian. (si mbah sing ndudui awakmu?)

"Ya. Dia tak bagi tahu awak ke? Dini mengiyakan. (yo. awakmu gak didudui ngunu?)

Sri tidak menjawab pertanyaan itu. Sri menjadi hairan. Kenapa Mbah Tamin tidak memberitahunya? Adakah orang tua itu sengaja mahu mencelakai Sri? Dia hanya melihat air mengalir yang ada di hadapanya. "Jumat Kliwon," kata Sri tiba-tiba.

Dini juga mengangguk. Rupanya Dini juga tahu.

******

Siang itu, Mbah Tamin memanggil Sri dan Dini. Mereka melihat Dela yang tengah duduk sendirian. Dia seperti sibuk dengan dunianya sendiri.

"Dela lahir disini. Jadi, aku tak perlu buat dia macam tinggal dihutan dulu. Setiap sudut rumah ini aku dah pasang payung untuk orang meninggal. Jangan risau, ujar Mbah Tamin memulakan bicara. (Dela lahir nang kene, mangkane, gak tak perlakokno koyo nang alas kui, nang kene, wes tak pasang payung penduso nang ben sudut omah)

Mbah Tamin menarik asap rokok dalam-dalam dan menghembusnya perlahan-lahan. "Masalahnya, tangkal yang digunakan untuk santau Dela ada disini. Besok, hari Khamis Legi, aku nak mintak tolong kalian cari tahu dimana tangkal itu disimpan," tambah Mbah Tamin sambil memegang sebatang rokok dengan jarinya. (masalahe sak iki nang kene, jimat sing kanggo nyantet Dela ado disini. mene, kamis legi, aku arep jalok tolong nang awakmu, Dini, tolong, golekono, nang ndi Pepetane disingitno, isok)

******

Di malam itu, malam Khamis Legi yang dimaksudkan, Sri dan Dini masuk ke bilik Mbah Tamin. Disana mereka lihat terdapat banyak tergantung kepala kerbau yang dipaku di dinding kamar. Selain itu, bilik Mbah Tamin banyak dihiasi kain merah. Bau kemenyan tercium sampai menusuk hidung.

Mbah Tamin kemudian melangkah masuk. Dia menyuruh Dini duduk didepannya membiarkan Sri berada di samping Dini. "Nanti, kau akan nampak kebun tebu. Dekat situ ada orang. Cari dan ikut dia, sampai dia duduk disebuah tempat," arah Mbah Tamin. (awakmu bakal ndelok kebon tebu, golekono wong sing mok temoni nang kunu, tutno, nang ndi wong iku engkok longgoh)

Mbah Tamin kemudian meminta Dini meminum air kelapa muda hijau. Lalu dia memicit-micit kepala Dini sambil mengusap menggunakan asap kemenyan.

Lantas, Mbah Tamin menampar kepala Dini dengan tapak tangannya membuatkan Dini tersungkur pengsan. "Sri, tolong jaga Dini. Mbah nak keluar dulu," arah Mbah Tamin. (Sri, tolong jogo dini, mbah kate metu)

Mbah Tamin berlalu pergi sementara Dini masih pengsan. Di dahinya keluar peluh yang amat banyak sehingga Dini kelihatan seperti orang yang meracau, mengatakan sesuatu seperti "peteng" (gelap) .

Namun, Sri berhati-hati dan membersihkan keringat Dini. Dia juga membantu Dini agar bisa tidur dengan posisi yang betul. Sri terus menjaga Dini sepanjang malam. Mbah Tamin tak juga kembali. Semakin malam, Dini semakin kacau. Dia menjerit, seperti tengah berlari, nafasnya termengah-mengah.

Yang membuat Sri tersentak ketika Dini mengatakan, "lelaki tu nampak aku. Dia nampak! Aku dikejar! Aku dikejar!" (Pak' e ndelok, pak 'e ndelok!! aku dikejar, aku dikejar!!)

Badan Dini tiba-tiba panas. Panas sekali. Sri mulai kuathir, namun dia bingung harus berbuat apa. Tidak beberapa lama kemudian, Mbah Tamin kembali. Dia hanya menepuk bahu Dini dan Dini langsung bangun. Wajahnya nampak terkejut seperti ingin mengatakan sesuatu, namun dia simpan niatnya saat melihat mata Mbah Tamin melotot, seakan menahan bahwa dia tidak boleh mengatakannya disini.

Mbah Tamin dan Dini keluar. Sri tidak mengerti, kenapa Mbah Tamin seakan menghindarinya.

******

Legi/Kliwon = Minggu dalam salah satu garis kelahiran Jawa yang digunakan oleh orang Jawa untuk menghitung tarikh perkahwinan, melihat jodoh yang sesuai dengan pasangan atau tak. Ianya dikira berdasarkan tarikh lahir. Contoh, TT lahir di hari Jumaat Legi. Jadi, menurut orang Jawa TT ni berdasarkan tarikh tu, TT seorang yang berpewatakan suka bersimpati, salah satunya. Macam suami TT lahir tanggal Khamis Pahing. Jadi, TT dengan suami memang sesuai dijadikan pasangan. Macam tu lah lebih kurang. Orang Jawa itulah istilah dia. Kliwon, Legi, Pahing, Wage, Pon.

Nasib baik TT lahir Jumaat Legi. Kalau Jumaat Kliwon, TT lari!!!! Hehehehe.

Reply

Use magic Report

 Author| Post time 27-3-2021 09:19 PM | Show all posts
Cukup tak bab-bab ni? TT nak rehat boleh? Banyak TT belanja korang hari ni...
Reply

Use magic Report

Post time 27-3-2021 09:33 PM From the mobile phone | Show all posts
Park dulu...nanti baca..hehehe
Reply

Use magic Report

 Author| Post time 27-3-2021 11:03 PM | Show all posts
Setelah sekian lama menunggu, Mbah Tamin akhirnya memanggil Sri dan menyuruhnya agar kembali ke kamar. Semasa dalam perjalanan ke kamar Sri, dia melewati sebuah kamar tanpa pintu. Disana, ada Dela melihatnya. Dia hanya tersenyum menatap Sri.

Hal terakhir yang Sri ingat saat melihat Dela adalah, dia seakan memberitahu, bahawa akhir dari semuanya, adalah rumah ini.

Rumah, yang akan Sri ingat sampai akhir nanti.

Sri menutup pintu, menguncinya. Dia terlalu lelah malam ini. Apa yang dia lihat, ingin dia lupakan dalam tidurnya.

Saat Sri hendak memejamkan mata, seseorang membelai rambutnya. Seraya memaksanya untuk melihat sesiapa yang tengah mengganggu tidurnya.

"Dela... Macam mana boleh...?" kata Sri saat melihatnya. (kok isok?)

"Saya dari tadi sebenarnya ada dalam bilik kamu, Mbak Sri. Dekat bawah katil. Orang tua itu masih cari saya?" tanya Dela. (aku, ket mau nang jeroh kamarmu loh Sri, nang nisor bayangmu, wong tuwek iku, gak goleki aku kan)

"Saya nak mintak tolong. Sekarang, nyawa akak ada di tangan Mbah. Kalau akak ikut cakap saya, akak akan selamat. Saya akan cakap apa punca masalah yang sebenarnya. Akak percaya dengan saya kan?" tanya Dela ke Sri. Sri bingung. Sudahlah Dela datang ke biliknya macam tu. (aku jalok tolong, sak iki, nyowomu nang tangane wong tuwek iku, nek awakmu nuruti aku, awakmu isok selamet, lan tak duduhi perkara masalahe, awakmu percoyo ambek aku ndok)

"Tolong apa?" tanya Sri ragu. Dia masih ingat bagaimana dia melakukan kesalahan fatal itu sewaktu di hutan dulu kerana mengikut kata "Dela". (tolong opo?)

"Bakar payung orang meninggal itu, untuk saya." Dela melangkah pergi seraya memberikan tatapan terakhir kepada Sri, seakan yakin, Sri akan melakukannya. (obongen payung pendusan iku gawe aku)

******

Malam semakin larut. Sri melihat sebuah kereta datang. "Sugik." ucap Sri mengawasi dari jendela. Mbah Tamin dan Dini melangkah masuk ke dalam kereta. Mereka pergi dari kediaman ini.

Sri hanya brfikir, kemana mereka pergi? Dan kenapa dia tidak diajak pergi? Semua ini tiba-tiba mengingatkannya pada pesan Dela, nyawanya ada di tangan Mbah Tamin.

Meski ragu, Sri membuka pintu. Dia melihat Dela tersenyum berdiri didepan kamar seakan sudah menunggu kehadirannya.

Sri dan Dela menyusuri rumah itu. Bagai dipukau, Sri pergi ke dapur dan mencari mancis dan minyak tanah. Kemudian, Sri mulai berjalan ditengah kegelapan malam.

Bulan sedang tidak menampakkan diri. Sri berdiri disudut sebuah pagar. Disana, ada sebuah payung kecil berwarna hijau, "payung penduso" (payung orang meninggal) ucap Sri.

"Bakar semua payung ini. Ada tujuh payung diatas tanah ini, percaya sama saya," ucap Dela. (bakar kabeh payung iki, onok pitu payung nang lemah iki, percoyo ambek aku)

Sri menyiram payung itu dengan minyak tanah lalu membakarnya. Setiap kobaran api yang menyala-nyala, Dela tertawa melihatnya sambil menari-nari. Sri seperti ikut dalam setiap bisikan Dela ketika dia menunjuk dimana saja payung itu disembunyikan. Dan setiap satu payung terbakar, Dela menari-nari, merentangkan tangan, tertawa begitu senang, sampai Sri menatap payung terakhir.

Payung itu terletak tepat didepan lukisan itu. Lukisan perempuan bersama janin dua kepala. Sri berhenti, dia melihat lagi lukisan itu dan memperhatikan setiap detail siapa figura yang dilukis dalam balutan palet warna yang seakan familiar di mata Sri. Apakah maksud lukisan itu? Sri seakan-akan dia mengenal siapa yang ada dalam lukisan ini.

Sampai Sri baru memahami sesuatu!

Namun Dela tiba-tiba berbisik di telinga Sri. "Ragu ya, Sri?" (kok ragu Sri?)

Dela melihat Sri dan mengawasinya dari hujung kepala hingga hujung kaki. Tatapannya membuat Sri merinding. Dela masih tersenyum dan memaksa Sri untuk membakar payung yang terakhir.

"Sudah sedar ya, siapa aku?" tanya "Dela" menyeringai. Sri tahu, itu bukan lagi Dela! (wes sadar yo, sopo aku?)

Sri beransur mundur, namun Dela terus mendekatinya. Sri langsung berlari, sementara Dela hanya melihatnya begitu saja.

Selama ini diia tidak tahu apa-apa. Sangkaan Sri selama ini salah! Dia kini sangat yakin sekarang, kenapa dia bisa sampai ada disini, siapa Sengarturih dan Banarogo yang sebenarnya, dan tempat ini, semua ini adalah...

Sri tersandung jatuh.  

Sri merangkak, lantas, dia kemudian bersembunyi.

Dela baru saja datang. Suara langkah kakinya kedengaran. Sri melihat bayangan Dela di atas tanah melewatinya. Sri hampir kehilangan akalnya. Sri terus diam, Dela tidak akan tahu dimana dia berada.

"SRI"

Suara itu meruntun batin Sri!

Dela menarik rambut Sri lalu mencengkamnya. Sri cuba melawan sekuat tenaganya, namun, Sri tidak bisa menghadapi bala kekuatan yang entah dari mana datangnya. Dela seperti orang kesurupan. Caranya menghentam wajah Sri dengan telapak tangannya, membuat wajah Sri kelebaman. Bahkan, Dela turut memijak wajah Sri dengan kakinya. Dela terus berteriak meminta Sri menyelesaikan tugasnya. Yang Sri harus menyelesaikannya.

Sri menyedari sesuatu lagi. Hari ke-seribu sudah semakin dekat.

Ertinya, tidak ada kesempatan lagi untuk membuang-buang waktu. Sri terdengar suara deruman enjin. Kereta yang Sri kenal itu datang. Dela dan Sri terdiam. Pergelutan mereka terhenti. Manakala, ada seseorang datang mendekat.

Langkahnya perlahan. Dia menyusuri ruangan di rumah itu. Kemudian, susuk tubuh itu menampakkan dirinya di depan Sri dan Dela.

Mbah Krasa melihat Sri. Tatapannya penuh kecewa lalu dia mengalihkan penglihatannya ke Dela, yang entah kenapa langsung duduk bersimpuh di depan Mbah Krasa.

Mbah Krasa membelai rambut Dela seakan dia adalah binatang peliharaannya.

"Rupanya kau sudah faham, ya." ucap Mbah Krasa. Kali ini nadanya tegas. Tiada lagi keayuan seperti selalunya. (wes ngerti yo nduk awakmu)

"Bawak Sri masuk ke biliknya!" kata Mbah Krasa ke orang yang berdiri dibelakangnya. Orang suruhan itu menurut arahan wanita separuh baya dan membawa Sri ke kamarnya. (terno Sri nang kamare)

Sri hanya bisa melihat dengan pasrah ke arah Mbah Krasa yang masih menatapnya ketika dia dibawa pergi. Dela hanya melirik Sri dengan tatapan penuh ancaman, seakan dia belum selesai dengan semuanya.

******

Seseorang mengetuk pintu kamar, lalu membukanya. Sri melihat wanita tua anggun itu, tidak ada segan lagi untuknya. Sri justru merasa kesal setiap melihat tatapan matanya yang terbungkus di balik kaca mata tebal yang mengerikan itu.

"Sri, tolong bantu Mbah...," pinta Mbah Krasa. (Sri, bantu mbah nggih)

"Jumat Kliwon! Bukanlah hari lahir Dela, tetapi hari lahir dari orang yang menyantau cucu anda! Apa saya salah, Mbah?" rayu Sri. Tangisannya bercampur ketakutan dan kekesalan. (jumat kliwon, guk lahir e Dela ta mbah, tapi weton lahire sing nyantet putune njenengan, opo aku salah mbah)

Mbah Krasa mengangguk seolah-olah dia mengakui kebenaran kata-kata Sri.

"ANDA INGIN MENGAKHIRI NYAWA ORANG ITU MELALUI SAYA DAN DINI," tambah Sri separuh pekik. (njenengan pingin tiange sedo, ngelalon kulo ambek Dini)

Mbah Krasa mengangguk lagi. Kali ini sebuah senyuman sinis terukir di wajah Mbah Krasa.

Sri tidak tahu harus bilang apalagi. Dia kehilangan kata-kata dalam suasana yang ketegangan. Namun kemudian, sebelum tangisannya meledak lagi, Mbah Krasa membisikkan sesuatu, "tolong Mbah..." lalu pergi.


This post contains more resources

You have to Login for download or view attachment(s). No Account? Register

x
Reply

Use magic Report


ADVERTISEMENT


 Author| Post time 27-3-2021 11:11 PM | Show all posts
besok TT akan update bab terakhir ehh tunggu tau..korang tidurlah bye good night
Reply

Use magic Report

Post time 28-3-2021 06:39 AM From the mobile phone | Show all posts
cutestars replied at 27-3-2021 09:13 PM
Hal yang membuat Sri dan Dini tidak bisa berhenti melihat ke arah dua orang yang mereka kenal. Merek ...

Tqsm tt for update. Apa la plan mbah tamin ni kn.
Reply

Use magic Report

Post time 28-3-2021 06:45 AM From the mobile phone | Show all posts
cutestars replied at 27-3-2021 11:03 PM
Setelah sekian lama menunggu, Mbah Tamin akhirnya memanggil Sri dan menyuruhnya agar kembali ke kama ...

Tq update tt. Ni ke payung org meninggal tu
Reply

Use magic Report

 Author| Post time 28-3-2021 07:00 AM From the mobile phone | Show all posts
lilac85 replied at 28-3-2021 06:45 AM
Tq update tt. Ni ke payung org meninggal tu

Iya payung hijau tu...huhu
Reply

Use magic Report

You have to log in before you can reply Login | Register

Points Rules

 

ADVERTISEMENT



 

ADVERTISEMENT


 


ADVERTISEMENT
Follow Us

ADVERTISEMENT


Mobile|Archiver|Mobile*default|About Us|CARI Infonet

28-4-2024 04:21 AM GMT+8 , Processed in 0.092255 second(s), 44 queries .

Powered by Discuz! X3.4

Copyright © 2001-2021, Tencent Cloud.

Quick Reply To Top Return to the list